Menjentikan frasa Pers Mahasiswa, mestinya bukan suatu hal yang asing di telinga para mahasiswa. Setidaknya, kita mengenalnya sebagai sebuah unit kegiatan mahasiswa (UKM). Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) selain memiliki posisi sebagai UKM untuk mengakomodir bakat dan minat mahasiswa di bidang jurnalistik, juga merupakan media yang memiliki visi sosial politik. Salah satu visi pers mahasiswa yang penting adalah : sebagai media komunikasi antara mahasiswa dan birokrat; sebagai ruang publik antara kampus dan pemerintah maupun masyarakat; sebagai media komunikasi antara mahasiswa dan masyarakat. Selain itu, LPM juga merupakan alat ampuh untuk memperkuat eksistensi mahasiswa.
Sedikit menapaktilasi perjalanan pers mahasiswa di Indonesia, di tahun 1914-1941 dapat disebut sebagai periode pertama. Awal terbitnya pers ini depengaruhi oleh gerakan-gerakan kemahasiswaan dan gerakan perjuangan lainnya. Seperti Jong Java yang diterbitkan oleh pelajar dan mahasiswa tahun 1914. Soeara Indonesia Moeda yang diterbitkan oleh pemuda yang tergabung dalam Sumpah Pemuda tahun 1928. Jaar Boek diterbitkan oleh THS (sekarang ITB) tahun 1930-1941.
Di Zaman Demokrasi Liberal (1945-1959) memberi kesempatan yang luas untuk terbitnya pers kampus. Bagaikan jamur di musin hujan, di Jakarta tercatat ada 10 penerbitan mahasiswa, di Bandung terdapat 10 pers mahasiswa, di Yogyakarta ada 9 pers mahasiswa, bahkan di luar Jawa pun mahasiswa tak mau kalah. Di Makassar ada Duta Mahasiswa, di Medan ada Gema Universitas, dan di Padang juga terbit Tifa Mahasiswa.
Di zaman Demokrasi Terpimpin (1959-1966), sesuai zamannya, pers kampus pun ikut tenggelam, karena kekejaman politik penguasa saat itu. Tercatat di Yogyakarta pers mahasiswa Gajah Mada dan Gema habis, di Jakarta Majalah Forum dan Mahasiswa mandek.
Zaman Demokrasi Orde Baru (1966-1971), dengan tumbangnya G 30/S-PKI mulailah lagi semarak suara kampus dari mahasiswa. Di awal-awal pemerintahan Orde Baru, pers mahasiswa cukup bisa bernafas dengan lega, sehingga tidak sedikit pers mahasiswa mulai bermunculan, seperti KAMI (Jakarta, Surabaya, Makassar), Mahasiswa Indonesia (Edisi Jawa Tengah dan Jawa Barat), Mimbar Demokrasi (Yogyakarta), Muhibbah (Universitas Islam Indonesia), Mimbar Mahasiswa (Banjarmasin), Gelora Mahasiswa Indonesia (Malang), dan rnasih banyak lagi. Beberapa media yang disebutkan diatas bahkan cukup fenomenal, pembacanya bukan hanya kalangan mahasiswa, tetapi juga masyarakat umum dengan oplah mencapai 30.000 -70.000 eksemplar.
Di tahun 1972-1997 (zaman Orde Baru), kontrol mahasiswa mulai dibungkam, sehingga meskipun keberadaan pers kampus masih ada, tapi daya kritisnya sudah mandul.Terlebih pasca peristiwa MALARI, pemerintah mulai represif terhadap aktivitas-aktivitas mahasiswa. Hal ini menstimulan aksi-aksi protes dari mahasiswa yang kemudian menyalurkan aspirasinya melalui lembaga-lembaga kemahasiswaan, yang diantaranya dilakukan oleh Dewan Mahasiswa (Dema). Dema menerbitkan pamflet,serta media lain yang berisi kecaman, protes-protes terhadap berbagai kebijakan pemerintah di awal orde baru. Pemerintah kemudian melalui keputusan pangkopkamtib menonaktifkan Dema pada tahun 1978. Menyusul pula dimatikannya lembaga-lembaga mahasiswa lain. Sama halnya dengan Lembaga Pers Mahasiswa. Di era itu, dikenal adanya IPMI ( Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia, berdiri tahun 1955) yang menjadi satu-satunya wadah nasional pers mahasiswa Indonesia dan sempat menjadi salah satu motor gerakan mahasiswa. Tak beda dengan lembaga mahasiswa lain, IPMI pun menghadapi kematiannya di tahun 1982. Masa ini dikenal dengan normalisasi kehidupan kampus. Hal tersebut puncaknya justru terjadi di akhir tahun 1997. Dan awal tahun 1998 terjadilah gerakan mahasiswa yang terkenal dengan reformasinya.
Terakhir adalah zaman reformasi (1998-sekarang). Sebagaimana di awal pemerintahan Orde Baru, pers dibuka lebar-lebar, tidak terkecuali pers kampus. Bahkan di era ini, pers kampus mendapat kebebasan untuk melakukan kritik sosial terhadap pemerintah. Kini kita bisa mengenal Balairung (LPM UGM), Sketsa (LPM UNSOED), Eksepsi (LPM Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin), Kreatif Media Mahasiswa (LPM UNIMEDJl), Lingua (LPM Fak. Kedokteran Unair), Independensia, KLIK (94). (LPM Univ. Wijaya Kusuma Surabaya), Jumpa (LPM Univ. Pasundan), Didaktik. (LPM FKIP Univ. Muhamadiyah Malang), Berita Kontras (Menteng-Jakpus), AMANAT (LPM IAIN Walisongo), dan lain sebagainya. Tak ketinggalan pula bangkitnya Lembaga Pers Mahasiswa Islam yang digawangi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). (to be continued....please open the next page!)
Namun, ada fenomena ironis yang terjadi. Disaat kesempatan terbuka luas, pers mahasiwa kini nampaknya kurang populer ditengah-tengah mahasiwa. Banyak faktor yang dapat menjadi penyebab hal itu. Rendahnya minat baca tulis di kalangan masyarakat (dalam hal ini :mahasiswa) merupakan hal yang memperburuk lesunya pers mahasiswa. Kebanyakan mahasiswa mengidentikan kegiatan baca tulis dengan paper-paper, serta tugas kuliah yang dirasa sebagai beban. Selain itu, kurangnya apresiasi dari pengelola kampus terhadap budaya menulis juga menjadi faktor yang berpengaruh. Tak ayal pula, iklim kapitalis media turut andil dalam menurunnya semangat LPM. Iklim kapitalis media menyebabkan beberapa hal, yakni membuat acara infotainment lebih menggugah masyarakat, kemudian peredaran surat kabar yang full section (dari politik hingga gossip terpanas ada), membuat pers mahasiswa sulit menentukan positioning segmen pasar.
So, Pers Mahasiswa kini perlu melakukan reposisi dan reorientasi. Kekuatan pena sebagai pencatat jengkal peradaban serta peran mahasiswa sebagai agent of change , sudah lebih dari cukup sebagai semangat untuk lebih menghidupkan Pers Mahasiswa. Karena matinya pers mahasiwa berarti matinya demokrasi di kampus.
Keep fighting!hidup mahasiwa!YAKUSA!!! (dari berbagai sumber / nta)
Jatuh Bangun Pers Mahasiswa Kita
english mobileKuli Tinta Satria Hijau Hitam
english mobileDiamanahkannya penyelenggaraan perdana LOKNAS LAPMI kepada cabang purwokerto, merupakan “hadiah” tersendiri bagi kami. Beberapa alasan berdiri di belakang penunjukan sang “satria” menjadi tuan rumah. Award “tersehat” di tengah-tengah puluhan cabang lainnya merupakan salah satu latar belakang berkumpulnya teman-teman LAPMI se-Indonesia di bumi Baturaden ini. Tak pelak muncul juga courius, sebenarnya bagaimana sih kondisi LAPMI Purwokerto, sang Satria Hijau Hitam???
Bukan bermaksud menjadikan ruang ini untuk bernarsis ria, mungkin sekedar ingin berbagi mengenai kami dan kita.
Tak ada uraian pena yang dapat dijadikan referensi selayaknya hand out mata kuliah sejarah. Karena ternyata-dengan jujur diakui-walaupun sebagai lembaga Pers, yang identik dengan kekuatan pena, karya pena kami belumlah terhitung banyak. Untuk menyusun kisah singkat ini pun, perlu mengernyitkan dahi untuk membolak-balik lembar-lembar LPJ LAPMI dari tahun ke tahun.
Tanpa tertulis sejarah, namun diakui secara de facto, sekitar dua dasawarsa yang lalu, Lembaga Pers mulai terbentuk mewarnai dinamika perjalanan HMI Purwokerto. Dengan beberapa sebab, sekian lama , sang satria vakum. Hingga akhirnya lima tahun yang lalu, reborn of LAPMI terjadi dengan digawangi oleh kanda Arjuna (2002). Kanda Arjuna seolah menjadi “arjuna” bagi kita, dengan usaha kerasnya, beliau membangkitkan kembali jiwa-jiwa jurnalistik para kader hijau hitam.
Bukan sebuah euforia belaka, atau istilah jawa-nya “ anget-anget mendoan”, kebangkitan LAPMI tak berhenti sampai di tangan sang “arjuna”, namun tetap berkembang terus. Piala bergilir dirut LAPMI pun ber-estafet dari tangan bang Arjuna kepada kanda Juwardi (2003), kanda Nur Cholid (2004), kanda Agus Miftakhudin (2005), kanda Eko (2006), serta sekarang di tangan kepengurusan Kartika Vijayanti. Dengan tetap memegang semangat dari Muhyidin M.Dahlan yang menyatakan Scripta Manent Verba Volant (yang tertulis akan tetap mengabdi, yang terucap akan selalu bersama angin), sang satria hijau hitam terus maju dan bergerak menuliskan tiap jengkal peradaban.
Hingga kini, LAPMI Purwokerto memiliki berbagai aktivitas. Penerbitan buletin berkala (kala-kala ada, kala-kala juga tidak ada, J ) bertajuk “ INSPIRASI”, leaflet “UNIVERSITARIA”, menunjukan eksistensi LAPMI Purwokerto sebagai Lembaga Pers Mahasiswa Islam. Hadirnya LAPMI cukup memberi warna ditengah-tengah pergerakan mahasiswa kota satria Purwokerto ini. Beberapa pelatihan jurnalistik juga rutin diadakan dengan maksud untuk meng up-grade para personil. Tak jarang diskusi-diskusi tentang dunia jurnalistik diadakan pula dengan menghadirkan praktis-praktisi media lokal. Kini, LAPMI Purwokerto juga tak hanya berunjuk gigi melalui lembar-lembar karya pena, namun kami juga mencoba memanfaatkan perkembangan teknologi informasi. Perkembangan kami dapat dipantau melalui cyber di alamat http://satriahijauhitam.blogspot.com . Walaupun belum sepenuhnya kami rutin melakukan up-date, setidaknya itu adalah upaya kami untuk terus eksis ditengah perkembangan media. Dengan semangat YAKUSA (yakin usaha sampai), LAPMI Purwokerto terus mencoba membenahi diri untuk dapat menjadi lembaga pers mahasiwa Islam yang berindependensi dalam menuliskan setiap jengkal peradaban. YAKUSA!!! (with full luph 4 members LAPMI, keep fighting, keep Allah in our heart)
-nt@-