LAPMI (Juga) Berubah Nama

english mobile


Oleh :ANAS

Perubahan nama tampaknya benar-benar menjadi isu hangat menjelang Kongres HMI ke XXVI di Jakarta. Belum selesai polemik perubahan nama HMI dengan penambahan kata MPO dalam konstitusi, kemarin (28-29/7), dalam Lokakarya Nasional LAPMI yang digelar di Purwokerto, polemik yang sama juga muncul. Melalui draft usulan dari Kornas LAPMI dalam Loknas, diusulkan agar LAPMI juga berubah nama.

Usulan ini diungkapkan melalui Loknas yang dihadiri berbagai cabang-cabang. Dalam draft tersebut nama LAPMI diganti menjadi Institut Jurnalisme Mahasiswa atau disingkat menjadi IJM.

Menurut Koordinator Nasional (Kornas) LAPMI, MA Syukur, paling tidak ada dua hal yang mendasari perubahan nama LAPMI menjadi IJM. Pertama, seperti halnya ‘kasus’ nama HMI, nama LAPMI sekarang ini kurang memiliki nilai strategis dalam menjalankan fungsinya. Sebab, meski banyak tawaran kerjasama dari lembaga luar, namun dengan tidak diakuinya LAPMI HMI (MPO) dalam lembaran negara juga berimplikasi dalam soal jaringan.

“Beberapa pihak yang ingin bekerjasama dengan LAPMI dalam pengembangan pendidikan jurnalistik, seperti kedutaan Inggris misalnya, jadi mundur setelah mengetahui LAPMI kita ini tidak legal,” ujar Syukur.

Padahal menurut Syukur, lembaga kekaryaan seperti LAPMI menjadi penting perannya untuk mendukung dinamika peran dan gerakan HMI. “Perubahan nama LAPMI tidak ada hubungannya dengan perbincangan soal ideologi. Ini sifatnya strategis saja. Sebab banyak pihak enggan bekerjasama dengan kita,” tandasnya.

Kedua, perubahan nama LAPMI menjadi Institut Jurnalisme Mahasiswa (IJM) ingin menegaskan lembaga ini pada orientasi pendidikan yang benar-benar terfokus dalam soal jurnalistik. Selama ini LAPMI tidak memiliki kurikulum yang jelas dalam pertrainingan jurnalistik. Efeknya lembaga ini memiliki kelemahan yang sifatnya mendasar dan terkesan tidak serius sebagai ruang kader berkarya melalui aktivitas jurnalistik.

“IJM nantinya memiliki kurikulum pendidikan seperti halnya dalam LK yang berjenjang dengan muatan dan target agar anggota LAPMI benar-benar menguasai jurnalistik,” ucap Syukur.

Usulan perubahan nama dan draft kurikulum yang disampaikan Kornas mendapat tanggapan kritis dari berbagai peserta Loknas. Loknas sendiri mengagendakan pembahasan draft usulan AD/ART yang nantinya direkomendasikan dalam Munas LAPMI di Kongres.

Terjadi dialog yang panjang soal usulan perubahan nama. Beberapa cabang dengan terang-terangan menyatakan mendukungnya. Sementara beberapa yang lain menolaknya. Diskusi tidak sampai pada persetujuan usulan nama dari Kornas dan tetap memberikan ruang di Munas LAPMI menjadi ‘ajang pertempuran’ guna memutuskan soal ini. Meski dari perdebatan yang ada sempat mengerucut untuk terjadinya perubahan nama, namun semua sepakat agar peserta Munas LAPMI yang akan memberikan keputusan.

Nama IJM sendiri banyak mendapat kritik. Cabang Purwokerto misalnya menilai nama Institut Jurnalistik akan mempersempit lembaga ini sebagai ruang yang hanya berkutat soal jurnalistik. “Jurnalistik itu hukum besinya fakta dan wujud kongkritnya berita. Penamaan IJM mendistoris lembaga ini sebagai komunitas menulis yang mempersempit pada berita. Padahal semestinya LAPMI mampu menjadi wadah kepenulisan dalam lingkup yang lebih luas dari berita,” ujar Trisno, salah satu peserta.

Nama IJM berimpikasi sangat jelas dalam kurikulum. Silabus pendidikannya didominasi dengan materi-materi dunia jurnalistik seperti pengantar jurnalisme, teknik reportase, teknik penulisan berita, atau manajemen news room. “Lembaga ini harus memberi bekal pengetahuan dan keterampilan dunia menulis yang lebih luas. Tidak hanya berkutat dengan soal fakta, berita dan kewartawanan. Namun, juga seni menulis lainnya seperti sastra, opini, esai dan sebagainya. Di silabus pendidikan yang ditawarkan tidak ada soal ini,” kritik Trisno.

Cabang-cabang yang lain juga melontarkan pertanyaan dan kritikan. Dari cabang Semarang misalnya, menyatakan agar LAPMI menyediakan ruang untuk anggotanya mengenal dunia tulis-menulis yang cakupannya melampaui berita. “LAPMI jangan sampai hanya berorientasi mendidik anggotanya sebagai wartawan saja,” ujar perwakilan cabang Semarang.

Sementara itu Kornas LAPMI, MA Syukur menyatakan, IJM adalah pintu masuk bagi kader-kader HMI untuk mengenal dunia jurnalistik. Maka, pada training jurnalistik dasar, sebagai bagian model pendidikan umum, difokuskan pada pemahaman dan pengetahuan soal jurnalistik. “Sementara model penulisan yang lain seperti fiksi, sastra, opini atau kolom bisa dilakukan pada pendidikan khususnya,” terang Syukur.

Syukur mengungkapkan, silabus yang ada bersifat fleksibel sebagai acuan dalam pendidikan di LAPMI/IJM atau apa pun nama lembaga ini nantinya. “Improvisasi bisa dilakukan dan kita hanya menawarkan kerangkanya saja,” tegas kader asal kota Tegal ini.

Terlepas dari perdebatan yang ada, Loknas LAPMI berlangsung lancar. Acara yang digelar di area wisata Wisma Wijayakusuma, Baturraden ini dihadiri perwakilan LAPMI dari berbagai cabang seperti Jogjakarta, Wonosobo, Semarang, Purworejo, Jepara, Serang, dan Purwokerto sebagai tuan rumah. Meski, dari jumlah cabang yang hadir, bisa dikatakan peserta Loknas kurang maksimal. Sebab, pelaksanaan Loknas sebenarnya mengundang LAPMI cabang-cabang secara nasional.

Syukur mengatakan, untuk cabang-cabang khususnya di Indonesia timur dan barat memang sulit bisa hadir di acara ini. Kendala geografis dan dekatnya waktu Kongres membuat mereka lebih memilih langsung datang ke kongres yang sebentar lagi akan digelar di Jakarta. “LAPMI itu ada karena kebutuhan cabang. Kornas juga tidak bisa memaksa soal kehadiran mereka di Loknas. Kita hanya berharap, di Munas nanti bisa menghasilkan keputusan yang bisa membuat lembaga pers HMI bisa semakin progresif dan tertata,” harap Syukur. Semoga saja.

(Anas, Litbang LAPMI Purwokerto). LAPMI (Juga) Berubah Nama?
Oleh :ANAS

Perubahan nama tampaknya benar-benar menjadi isu hangat menjelang Kongres HMI ke XXVI di Jakarta. Belum selesai polemik perubahan nama HMI dengan penambahan kata MPO dalam konstitusi, kemarin (28-29/7), dalam Lokakarya Nasional LAPMI yang digelar di Purwokerto, polemik yang sama juga muncul. Melalui draft usulan dari Kornas LAPMI dalam Loknas, diusulkan agar LAPMI juga berubah nama.

Usulan ini diungkapkan melalui Loknas yang dihadiri berbagai cabang-cabang. Dalam draft tersebut nama LAPMI diganti menjadi Institut Jurnalisme Mahasiswa atau disingkat menjadi IJM.

Menurut Koordinator Nasional (Kornas) LAPMI, MA Syukur, paling tidak ada dua hal yang mendasari perubahan nama LAPMI menjadi IJM. Pertama, seperti halnya ‘kasus’ nama HMI, nama LAPMI sekarang ini kurang memiliki nilai strategis dalam menjalankan fungsinya. Sebab, meski banyak tawaran kerjasama dari lembaga luar, namun dengan tidak diakuinya LAPMI HMI (MPO) dalam lembaran negara juga berimplikasi dalam soal jaringan.

“Beberapa pihak yang ingin bekerjasama dengan LAPMI dalam pengembangan pendidikan jurnalistik, seperti kedutaan Inggris misalnya, jadi mundur setelah mengetahui LAPMI kita ini tidak legal,” ujar Syukur.

Padahal menurut Syukur, lembaga kekaryaan seperti LAPMI menjadi penting perannya untuk mendukung dinamika peran dan gerakan HMI. “Perubahan nama LAPMI tidak ada hubungannya dengan perbincangan soal ideologi. Ini sifatnya strategis saja. Sebab banyak pihak enggan bekerjasama dengan kita,” tandasnya.

Kedua, perubahan nama LAPMI menjadi Institut Jurnalisme Mahasiswa (IJM) ingin menegaskan lembaga ini pada orientasi pendidikan yang benar-benar terfokus dalam soal jurnalistik. Selama ini LAPMI tidak memiliki kurikulum yang jelas dalam pertrainingan jurnalistik. Efeknya lembaga ini memiliki kelemahan yang sifatnya mendasar dan terkesan tidak serius sebagai ruang kader berkarya melalui aktivitas jurnalistik.

“IJM nantinya memiliki kurikulum pendidikan seperti halnya dalam LK yang berjenjang dengan muatan dan target agar anggota LAPMI benar-benar menguasai jurnalistik,” ucap Syukur.

Usulan perubahan nama dan draft kurikulum yang disampaikan Kornas mendapat tanggapan kritis dari berbagai peserta Loknas. Loknas sendiri mengagendakan pembahasan draft usulan AD/ART yang nantinya direkomendasikan dalam Munas LAPMI di Kongres.

Terjadi dialog yang panjang soal usulan perubahan nama. Beberapa cabang dengan terang-terangan menyatakan mendukungnya. Sementara beberapa yang lain menolaknya. Diskusi tidak sampai pada persetujuan usulan nama dari Kornas dan tetap memberikan ruang di Munas LAPMI menjadi ‘ajang pertempuran’ guna memutuskan soal ini. Meski dari perdebatan yang ada sempat mengerucut untuk terjadinya perubahan nama, namun semua sepakat agar peserta Munas LAPMI yang akan memberikan keputusan.

Nama IJM sendiri banyak mendapat kritik. Cabang Purwokerto misalnya menilai nama Institut Jurnalistik akan mempersempit lembaga ini sebagai ruang yang hanya berkutat soal jurnalistik. “Jurnalistik itu hukum besinya fakta dan wujud kongkritnya berita. Penamaan IJM mendistoris lembaga ini sebagai komunitas menulis yang mempersempit pada berita. Padahal semestinya LAPMI mampu menjadi wadah kepenulisan dalam lingkup yang lebih luas dari berita,” ujar Trisno, salah satu peserta.

Nama IJM berimpikasi sangat jelas dalam kurikulum. Silabus pendidikannya didominasi dengan materi-materi dunia jurnalistik seperti pengantar jurnalisme, teknik reportase, teknik penulisan berita, atau manajemen news room. “Lembaga ini harus memberi bekal pengetahuan dan keterampilan dunia menulis yang lebih luas. Tidak hanya berkutat dengan soal fakta, berita dan kewartawanan. Namun, juga seni menulis lainnya seperti sastra, opini, esai dan sebagainya. Di silabus pendidikan yang ditawarkan tidak ada soal ini,” kritik Trisno.

Cabang-cabang yang lain juga melontarkan pertanyaan dan kritikan. Dari cabang Semarang misalnya, menyatakan agar LAPMI menyediakan ruang untuk anggotanya mengenal dunia tulis-menulis yang cakupannya melampaui berita. “LAPMI jangan sampai hanya berorientasi mendidik anggotanya sebagai wartawan saja,” ujar perwakilan cabang Semarang.

Sementara itu Kornas LAPMI, MA Syukur menyatakan, IJM adalah pintu masuk bagi kader-kader HMI untuk mengenal dunia jurnalistik. Maka, pada training jurnalistik dasar, sebagai bagian model pendidikan umum, difokuskan pada pemahaman dan pengetahuan soal jurnalistik. “Sementara model penulisan yang lain seperti fiksi, sastra, opini atau kolom bisa dilakukan pada pendidikan khususnya,” terang Syukur.

Syukur mengungkapkan, silabus yang ada bersifat fleksibel sebagai acuan dalam pendidikan di LAPMI/IJM atau apa pun nama lembaga ini nantinya. “Improvisasi bisa dilakukan dan kita hanya menawarkan kerangkanya saja,” tegas kader asal kota Tegal ini.

Terlepas dari perdebatan yang ada, Loknas LAPMI berlangsung lancar. Acara yang digelar di area wisata Wisma Wijayakusuma, Baturraden ini dihadiri perwakilan LAPMI dari berbagai cabang seperti Jogjakarta, Wonosobo, Semarang, Purworejo, Jepara, Serang, dan Purwokerto sebagai tuan rumah. Meski, dari jumlah cabang yang hadir, bisa dikatakan peserta Loknas kurang maksimal. Sebab, pelaksanaan Loknas sebenarnya mengundang LAPMI cabang-cabang secara nasional.

Syukur mengatakan, untuk cabang-cabang khususnya di Indonesia timur dan barat memang sulit bisa hadir di acara ini. Kendala geografis dan dekatnya waktu Kongres membuat mereka lebih memilih langsung datang ke kongres yang sebentar lagi akan digelar di Jakarta. “LAPMI itu ada karena kebutuhan cabang. Kornas juga tidak bisa memaksa soal kehadiran mereka di Loknas. Kita hanya berharap, di Munas nanti bisa menghasilkan keputusan yang bisa membuat lembaga pers HMI bisa semakin progresif dan tertata,” harap Syukur. Semoga saja.

(Anas, Litbang LAPMI Purwokerto).

0 apresiasi:

 
UNIVERSITARIA ©2008 Templates e Acessorios Por Elke di Barros