Saat Islam Harus “Diperbaharui”

english mobile


Purwokerto – Melihat kondisi bangsa Indonesia, dapat kita inventarisir sejumlah problematika yang menimpa sang negeri gemah ripah loh jinawi ini. Dari mulai bencana alam, keterpurukan ekonomi, politik yang carut marut, penegakan hukum yang masih omong kosong hingga pendidikan yang tak mendidik. Apa yang kemudian mendasari hujanan problem tersebut?orang-nya kah atau sistem?. Kemudian apa yang bisa dijadikan solusi?? Satu kata muncul, Islam. Islam sebagai solusi. Apa dan bagaimana hal tersebut?? Itulah yang coba dimunculkan dalam diskusi interaktif dalam rangkaian acara pelantikan pengurus cabang HMI MPO Purwokerto, Ahad (3/1) yang lalu.


Mencoba menyandingkan M.Syafei (PB HMI dan Badko Inbagteng) dengan Abdurrauf ( Ketua HTI Purwokerto serta alumni HMI), moderator Yasum Surya Mentari membawa diskusi yang cukup hangat senja itu dengan mengangkat tema ; ”
Implementasi Nilai Keislaman Sebagai Manifesto Perlawanan Terhadap Neoliberalisme, Untuk Mewujudkan Indonesia Yang Berkeadilan”. Tema ini pula yang coba diangkat sebagai tema kepengurusan cabang HMI Purwokerto periode 2008-2009 M/ 1429-1430 H. Dalam sambutan ketua cabang yang baru – Arif Budiman-, diungkapkan bahwa siratan makna ini adalah untuk mereaktualisasikan nilai-nilai Islam dalam ruh pergerakan. Islam bukan sekedar jargon namun juga jiwa dari sebuah gerakan untuk melawan neoliberalisme yang telah menggurita.

Rangkaian pertanyaan yang disebutkan di awal tulisan merupakan pertanyaan yang dicoba menjadi intro pada pemaparan materi oleh Abdurrauf. Selaku ketua HTI Purwokerto, beliau dengan lugas dan detail mempresentasikan ide-ide khilafah sebagai sebuah smart solution pada menggunungnya kondisi bangsa ini. Perubahan sistem dan memilih dari opsi sistem yang ada : apabila pilih Kapitalis berarti mempertahankan krisis, pilih sosialis komunis merupakan opsi yang sudah jadul dan berarti bangkrut, atau pilih Islam yang di dalamnya terdapat perspektif Islam bahwa tidak ada kehidupan islam dimana diterapkan syariah islam dipimpin oleh khalifah.

Kalau kita berbicara mengenai Islam, sebenarnya Indonesia itu kaya akan orang Islam. Hampir 90% masyarakat Indonesia beragama Islam. Namun, tak pelak di negara ini ternyata telah terjadi perselingkuhan antara agama dan kekuatan modal. Sehingga kuantitas Islam yang dimiliki bukan mencerminkan jiwa Islam yang ada namun hanya digunakan untuk kecenderungan kapitalistik. Kurang lebih itu yang coba disampaikan oleh M.Syafei sebagai pembicara kedua saat diberi kesempatan untuk menyampaikan perspektifnya tentang Islam.

Islam sebagai problem solving. Klasik. Itu kesan yang ditangkap para audiens diskusi senja itu. Bahkan sempat disampaikan oleh salah satu peserta pada session tanyajawab bahwa ide HTI yang coba dipaparkan tidak lebih sebagai sebuah pendaurulangan sampah yang tidak berhasil. HTI dinilai tak mampu mengarahkan konsep yang jelas mengenai negara Islam yang dipimpin seorang khilafah. Sebuah imajinasi tanpa plot yang jelas. Sama halnya dengan yang diungkapkan oleh audiens lain yang bahkan menyangsikan bahwa Islam merupakan solusi yang komprehensif. HTI juga dinilai belum menjangkau sistem kenegaraan Indonesia dengan dasar negara Pancasila. Pancasila dinilai sudah cukup baik, tinggal bagaimana implementasinya. Kemudian ide khilafah Islamiyah ini coba ditampik dengan mempertanyakan bahwa Islam tidak semuanya menjadi mayoritas. Masih banyak umat lain. Kalau di Indonesia sebagai solusi itu karena mayoritasnya Islam sehinggat dirasa bahwa Islam-lah solusinya. Pada beberapa negara lain dimana Islam menjadi minoritas, permasalahan agama menjadi sebuah solusi bukanlah sesuatu yang diwacanaakan.

Dari rangkaian diskusi yang cukup hangat itu, ada dua perspektif yang bisa didapat, yaitu bahwa Islam adalah sebuah solusi mutlak serta perspektif faktual Islam di Indonesia yang hanya sekedar kuantitas saja. Tak ada sebuah garis merah yang didapatkan dikarenakan waktu yang tidak mendukung. Namun, setidaknya Islam bisa dijadikan sebagai jawaban atas pertanyaan “what?”, tapi kemudian “how?”. Itulah yang kemudian belum kita semua teruskan. Bagaimana kemudian Islam menjadi solusi, perlu berbagai pertimbangan, kearifan, dan pemikiran jernih. Saat Islam hanya menjawab pertanyaan “apa”, maka tak ubahnya kita menjadikan Islam sebagai sebuah jargon dakwah. Kini saatnya mereaktualisasi Islam, memperbaharui Islam bukan dalam artian pembaharuan dalam hal substansial seperti aqidah, fiqh dan lain sebagainya namun lebih kepada wilayah strategis dan teknis dakwah Islam kita. Islam membutuhkan para pembaharu yang tidak sekedar pintar namun juga jiwa-jiwa pembaharu yang mampu menjadi agen Islam yang inovatif dan cerdas serta tepat sasaran (nta)

0 apresiasi:

 
UNIVERSITARIA ©2008 Templates e Acessorios Por Elke di Barros