maaf, untuk sementara blog ini dalam perbaikan...dont worry, we will back again!!!(admin)
Soeharto Bukan Pahlawan
english mobile" Mari-mari kita bersama kubur soehartoisme
Kiri kanan kulihat saja...awas soehartoisme......"
Purwokerto - Lantunan nada-nada yang bersemangat itu keluar dari lisan kader-kader HMI MPO Purwokerto yang memberi warna pada malam kota Purwokerto Selasa (5/2) kemarin. Walaupun sempat diguyur gerimis, namun kurang lebih sepuluh kader tetap berteriak lantang seolah ratusan pasukan pleton yang menembus dinginnya malam.
Berangkat dari sekretariat cabang HMI MPO di bilangan Jalan Riyanto Sumampir-Purwokerto, para paserta aksi menyambut milad HMI ke-61 ini mengawali langkah pada pukul 19.00 menyusuri jalan-jalan di kota satria itu. Melintas hingga jalan Dr.Bunyamin, peserta aksi kemudian berhenti di depan gerbang Universitas Jendral Soedirman untuk menyuarakan aksinya. Di depan patung Soedirman, tiap kader kemudian bergantian untuk orasi. Tidak hanya orasi, namun pembacaan puisi serta adegan teaterikal juga turut digelar.
Isu yang diangkat pada milad kali ini adalah kuburkan Soehartoisme. Menurut pandangan kawan-kawan HMI MPO Purwokerto, momen meninggalnya Soeharto telah dengan cerdik dimanfaatkan oleh pengikut -pengikut Soeharto untuk membangkitkan Soehartoisme. Soehartoisme dipandang merupakan paham tata pemerintahan yang mengandalkan otoritarianisme, militerisme, dan KKN yang telah terbukti membangkrutkan bangsa dan negara.
Kebijakan pemerintah SBY-JK yang memberikan penghormatan yang berlebih-lebihan terhadap Soeharto berupa hari berkabung nasional selama 7 hari membuktikan bahwa rezim SBY-JK sama sekali tidak mengindahkan spirit reformasi yang diperjuangkan dengan nyawa dan darah mahasiswa. Sebaliknya, kebijakan ini justru membuktikan bahwa rezim SBY-JK adalah bagian yang melekat dengan spirit Orde Baru.
Kematian Soeharto tanpa putusan hukum yang tetap telah membuyarkan harapan tentang tegaknya kepastian hukum di negara ini. Dan oleh karena itu, menyangkut perdata Soeharto, HMI MPO meminta supaya seluruh kekayaan yayasan-yayasan yang dikelola oleh Soeharto dan kroninya segera diserahkan kepada negara.
Usulan Partai Golkar untuk menjadikan Soeharto sebagai pahlawan nasional adalah suatu hal yang absurd, tidak beralasan, lagi mengabaikan perasaan para korban kejahatan politik dan HAM yang dilakukan oleh Soeharto selama 32 tahun kekuasaannya. Dalam konteks ini, kematian Soeharto dalam kondisi tengah diproses secara hukum atas kasus korupsi dana Yayasan Supersemar telah menggugurkan prasyarat untuk menjadi pahlawan. Amat mustahil seseorang dalam posisi demikian untuk disebut sebagai pahlawan bangsa. Belum lagi, mengingat sejumlah kasus kejahatan HAM, pemberangusan kebebasan (pers, berpendapat dan berorganisasi) dan perampasan hak-hak ekosob sebagian warga negara yang memang secara faktual terjadi di masa kepemimpinannya.
Kepada seluruh komponen bangsa, HMI MPO menyerukan bahwa membangkitkan Soehartoisme merupakan tindakan yang sesat dan berbahaya, sebaliknya kami serukan supaya mari menyongsong masa depan dengan mengubur Soehartoisme. Masa depan ada di tangan rakyat, bukan di tangan elit-elit pengikut Soeharto.
Dalam pernyataan sikap yang dibuat, HMI- MPO Cabang Purwokerto menyatakan bahwa :
- Mendesak pemerintah untuk segera mengusut tuntas pelanggaran HAM yang telah dilakukan oleh rezim Soeharto
- Mendesak pemerintah untuk segera mengusut tuntas kasus perdata Soeharto beserta kroninya.
- Mendesak pemerintah untuk segera mengusut tuntas kasus korupsi dana-dana yayasan yang dimiliki Soeharto beserta kroninya dan mengembalikannya kepada rakyat.
- Menolak pemberian gelar pahlawan bangsa kepada Soeharto.
- Menolak agenda-agenda kepentingan asing yang menyengsarakan rakyat seperti : Privatisasi Sumberdaya Alam, liberalisasi dan komersialisasi Pendidikan (BHP) dan pencabutan subsidi lainnya yang bersentuhan langsung dengan hajat hidup orang banyak.
- Mengajak kepada seluruh elemen untuk bersama-sama mengantisipasi menguatnya paham soehartoisme yang telah menjalankan tata pemerintahan seperti : otoritarianisme, militerisme, dan KKN yang telah terbukti membangkrutkan bangsa dan negara.
Aksi yang di sisi lain cukup disayangkan karena sedikitnya kuantitas kader dikarenakan masa liburan kuliah yang telah tiba ini, berakhir dengan pernyataan sikap dan menyenyikan lagu Bagimu Negeri.
Animo masyarakat yang menyaksikan aksi cukup tinggi. Beberapa kendaraan tampak melambatkan laju kendaraan untuk mengetahui aksi yang memang sangat bersemangat. Bahkan beberapa masyarakat tak ragu untuk mendekati kami serta meminta leaflet yang sudah disediakan.
Soeharto memang telah mati, namun bukan berarti kasus-kasusnya dikubur dan lantas Soeharto menjadi pahlawan yang harum namanya. Peradilan kubur memang lebih adil, kalau kita mau menghargai pak Harto, bantulah meringankan beliau di akhirat sana dengan memposisikan Pak Harto pada ruang yang tepat dan posisi hukum yang seharusnya dan bukan dengan membangkitkan Soehartoisme. (nta)
Saat Islam Harus “Diperbaharui”
english mobile Purwokerto – Melihat kondisi bangsa Indonesia, dapat kita inventarisir sejumlah problematika yang menimpa sang negeri gemah ripah loh jinawi ini. Dari mulai bencana alam, keterpurukan ekonomi, politik yang carut marut, penegakan hukum yang masih omong kosong hingga pendidikan yang tak mendidik. Apa yang kemudian mendasari hujanan problem tersebut?orang-nya kah atau sistem?. Kemudian apa yang bisa dijadikan solusi?? Satu kata muncul, Islam. Islam sebagai solusi. Apa dan bagaimana hal tersebut?? Itulah yang coba dimunculkan dalam diskusi interaktif dalam rangkaian acara pelantikan pengurus cabang HMI MPO Purwokerto, Ahad (3/1) yang lalu.
Mencoba menyandingkan M.Syafei (PB HMI dan Badko Inbagteng) dengan Abdurrauf ( Ketua HTI Purwokerto serta alumni HMI), moderator Yasum Surya Mentari membawa diskusi yang cukup hangat senja itu dengan mengangkat tema ; ” Implementasi Nilai Keislaman Sebagai Manifesto Perlawanan Terhadap Neoliberalisme, Untuk Mewujudkan Indonesia Yang Berkeadilan”. Tema ini pula yang coba diangkat sebagai tema kepengurusan cabang HMI Purwokerto periode 2008-2009 M/ 1429-1430 H. Dalam sambutan ketua cabang yang baru – Arif Budiman-, diungkapkan bahwa siratan makna ini adalah untuk mereaktualisasikan nilai-nilai Islam dalam ruh pergerakan. Islam bukan sekedar jargon namun juga jiwa dari sebuah gerakan untuk melawan neoliberalisme yang telah menggurita.
Rangkaian pertanyaan yang disebutkan di awal tulisan merupakan pertanyaan yang dicoba menjadi intro pada pemaparan materi oleh Abdurrauf. Selaku ketua HTI Purwokerto, beliau dengan lugas dan detail mempresentasikan ide-ide khilafah sebagai sebuah smart solution pada menggunungnya kondisi bangsa ini. Perubahan sistem dan memilih dari opsi sistem yang ada : apabila pilih Kapitalis berarti mempertahankan krisis, pilih sosialis komunis merupakan opsi yang sudah jadul dan berarti bangkrut, atau pilih Islam yang di dalamnya terdapat perspektif Islam bahwa tidak ada kehidupan islam dimana diterapkan syariah islam dipimpin oleh khalifah.
Kalau kita berbicara mengenai Islam, sebenarnya Indonesia itu kaya akan orang Islam. Hampir 90% masyarakat Indonesia beragama Islam. Namun, tak pelak di negara ini ternyata telah terjadi perselingkuhan antara agama dan kekuatan modal. Sehingga kuantitas Islam yang dimiliki bukan mencerminkan jiwa Islam yang ada namun hanya digunakan untuk kecenderungan kapitalistik. Kurang lebih itu yang coba disampaikan oleh M.Syafei sebagai pembicara kedua saat diberi kesempatan untuk menyampaikan perspektifnya tentang Islam.
Islam sebagai problem solving. Klasik. Itu kesan yang ditangkap para audiens diskusi senja itu. Bahkan sempat disampaikan oleh salah satu peserta pada session tanyajawab bahwa ide HTI yang coba dipaparkan tidak lebih sebagai sebuah pendaurulangan sampah yang tidak berhasil. HTI dinilai tak mampu mengarahkan konsep yang jelas mengenai negara Islam yang dipimpin seorang khilafah. Sebuah imajinasi tanpa plot yang jelas. Sama halnya dengan yang diungkapkan oleh audiens lain yang bahkan menyangsikan bahwa Islam merupakan solusi yang komprehensif. HTI juga dinilai belum menjangkau sistem kenegaraan Indonesia dengan dasar negara Pancasila. Pancasila dinilai sudah cukup baik, tinggal bagaimana implementasinya. Kemudian ide khilafah Islamiyah ini coba ditampik dengan mempertanyakan bahwa Islam tidak semuanya menjadi mayoritas. Masih banyak umat lain. Kalau di Indonesia sebagai solusi itu karena mayoritasnya Islam sehinggat dirasa bahwa Islam-lah solusinya. Pada beberapa negara lain dimana Islam menjadi minoritas, permasalahan agama menjadi sebuah solusi bukanlah sesuatu yang diwacanaakan.
Dari rangkaian diskusi yang cukup hangat itu, ada dua perspektif yang bisa didapat, yaitu bahwa Islam adalah sebuah solusi mutlak serta perspektif faktual Islam di Indonesia yang hanya sekedar kuantitas saja. Tak ada sebuah garis merah yang didapatkan dikarenakan waktu yang tidak mendukung. Namun, setidaknya Islam bisa dijadikan sebagai jawaban atas pertanyaan “what?”, tapi kemudian “how?”. Itulah yang kemudian belum kita semua teruskan. Bagaimana kemudian Islam menjadi solusi, perlu berbagai pertimbangan, kearifan, dan pemikiran jernih. Saat Islam hanya menjawab pertanyaan “apa”, maka tak ubahnya kita menjadikan Islam sebagai sebuah jargon dakwah. Kini saatnya mereaktualisasi Islam, memperbaharui Islam bukan dalam artian pembaharuan dalam hal substansial seperti aqidah, fiqh dan lain sebagainya namun lebih kepada wilayah strategis dan teknis dakwah Islam kita. Islam membutuhkan para pembaharu yang tidak sekedar pintar namun juga jiwa-jiwa pembaharu yang mampu menjadi agen Islam yang inovatif dan cerdas serta tepat sasaran (nta)
Mengangkat Mendoan Hangat
english mobilePurwokerto – Bumi satria Purwokerto seolah menjadi saksi atas menggeloranya semangat kawan-kawan kader HMI MPO cabang purwokerto pada rangkaian acara pelantikan pengurus cabang HMI MPO Purwokerto periode 2008-2009 M/ 1429-1430 H, hari ahad (03/01) kemarin. Bertempat di Aula Kelurahan Grendeng Purwokerto, acara yang berlangsung semenjak pukul 13.00 tersebut terlaksana dengan cukup meriah. Hadir dalam kesempatan tersebut perwakilan PB HMI, kanda M.Syafei, serta turut hadir pula beberapa alumni HMI Purwokerto.
Dalam sambutan ketua cabang yang lama (demisioner), Arfianto Purbo Laksono, menyampaikan bahwa banyak hal yang akan kita hadapi. Penyikapan-penyikapan terhadap moment-moment seperti pilkada, pilgub, serta pilpres menjadi salah satu point yang disampaikan beliau. Apa yang disampaikan tidak jauh beda dengan sambutan yang disampaikan oleh kanda M.Syafei selaku perwakilan PB dan Badko Inbagteng, dimana pada intinya adalah bahwa pelantikan kali ini bukanlah sekadar momentum, namun merupakan tonggak dan starting point serta reminder akan tanggung jawab koita selaku kader-kader HMI MPO .
Dengan ucapan yang mantap pula, ketua cabang yang baru menyampaikan uraian mengenai tema yang diangkat yakni “ Implementasi Nilai-Nilai Keislaman “ . Dalam sambutannya, Arif Budiman – ketua cabang terpilih- menyampaikan bahwa kini sudah saatnya kita mereaktualisasi impelementasi nilai-nilai keIslaman. Islam bukan jargon yang hanya bisa diagung-agungkan tanpa implementasi dalam ruh gerakan kita.
Selepas pelantikan diselenggarakan pula diskusi interaktif yang menghadirkan pembicara Abdurrauf (alumni HMI serta Ketua Hizbut Tahrir Purwokerto) dan M.Syafei (PB dan Badko HMI Inbagteng).
Berikut susunan pengurus cabang HMI MPO Purwokerto periode 2008-2009 M/ 1429-1430 H :
Ketua : Arif Budiman
Sekretaris Umum : Dimas Ramadhan
Bendahara Umum : Hanum
Kabid Perkaderan : Sulistyana
Staf : Wirawan S. Harahap
Kabid PAO : Teguh Priyoko
Staf : Gampang Priyono
Kabid PTK : Avin
Staf : Wahyu
LAPMI : Nasrullah
KPC : Agung Sudrajat.
Semoga jajaran kepengurusan yang baru dapat menjalankan estafet perjuangan HMI MPO sebagai wadah pembelajaran untuk berproses menjadi mahasiswa Islam yang berkarakter Insan Ulil Albab yang turut bertanggungjawab terhadap terbentuknya masyarakat yang diridhoi oleh Allah SWT. Amien.
YAKUSA!!!
View more at http://ntacaholic.blogspot.com and http://satriahijauhitam.blogspot.com
LAPMI (Juga) Berubah Nama
english mobile
Oleh :ANAS
Perubahan nama tampaknya benar-benar menjadi isu hangat menjelang Kongres HMI ke XXVI di
Usulan ini diungkapkan melalui Loknas yang dihadiri berbagai cabang-cabang. Dalam draft tersebut nama LAPMI diganti menjadi Institut Jurnalisme Mahasiswa atau disingkat menjadi IJM.
Menurut Koordinator Nasional (Kornas) LAPMI, MA Syukur, paling tidak ada dua hal yang mendasari perubahan nama LAPMI menjadi IJM. Pertama, seperti halnya ‘kasus’ nama HMI, nama LAPMI sekarang ini kurang memiliki nilai strategis dalam menjalankan fungsinya. Sebab, meski banyak tawaran kerjasama dari lembaga luar, namun dengan tidak diakuinya LAPMI HMI (MPO) dalam lembaran negara juga berimplikasi dalam soal jaringan.
“Beberapa pihak yang ingin bekerjasama dengan LAPMI dalam pengembangan pendidikan jurnalistik, seperti kedutaan Inggris misalnya, jadi mundur setelah mengetahui LAPMI kita ini tidak legal,” ujar Syukur.
Padahal menurut Syukur, lembaga kekaryaan seperti LAPMI menjadi penting perannya untuk mendukung dinamika peran dan
Kedua, perubahan nama LAPMI menjadi Institut Jurnalisme Mahasiswa (IJM) ingin menegaskan lembaga ini pada orientasi pendidikan yang benar-benar terfokus dalam soal jurnalistik. Selama ini LAPMI tidak memiliki kurikulum yang jelas dalam pertrainingan jurnalistik. Efeknya lembaga ini memiliki kelemahan yang sifatnya mendasar dan terkesan tidak serius sebagai ruang kader berkarya melalui aktivitas jurnalistik.
“IJM nantinya memiliki kurikulum pendidikan seperti halnya dalam LK yang berjenjang dengan muatan dan target agar anggota LAPMI benar-benar menguasai jurnalistik,” ucap Syukur.
Usulan
Terjadi dialog yang panjang soal usulan
Nama IJM sendiri banyak mendapat kritik. Cabang Purwokerto misalnya menilai nama Institut Jurnalistik akan mempersempit lembaga ini sebagai ruang yang hanya berkutat soal jurnalistik. “Jurnalistik itu hukum besinya fakta dan wujud kongkritnya berita. Penamaan IJM mendistoris lembaga ini sebagai komunitas menulis yang mempersempit pada berita. Padahal semestinya LAPMI mampu menjadi wadah kepenulisan dalam lingkup yang lebih luas dari berita,” ujar Trisno, salah satu peserta.
Nama IJM berimpikasi sangat jelas dalam kurikulum. Silabus pendidikannya didominasi dengan materi-materi dunia jurnalistik seperti pengantar jurnalisme, teknik reportase, teknik penulisan berita, atau manajemen news room. “Lembaga ini harus memberi bekal pengetahuan dan keterampilan dunia menulis yang lebih luas. Tidak hanya berkutat dengan soal fakta, berita dan kewartawanan. Namun, juga seni menulis lainnya seperti sastra, opini, esai dan sebagainya. Di silabus pendidikan yang ditawarkan tidak ada soal ini,” kritik Trisno.
Cabang-cabang yang lain juga melontarkan pertanyaan dan kritikan. Dari cabang
Sementara itu
Syukur mengungkapkan, silabus yang ada bersifat fleksibel sebagai acuan dalam pendidikan di LAPMI/IJM atau apa pun nama lembaga ini nantinya. “Improvisasi bisa dilakukan dan kita hanya menawarkan kerangkanya saja,” tegas kader asal
Terlepas dari perdebatan yang ada, Loknas LAPMI berlangsung lancar. Acara yang digelar di area wisata Wisma Wijayakusuma, Baturraden ini dihadiri perwakilan LAPMI dari berbagai cabang seperti
Syukur mengatakan, untuk cabang-cabang khususnya di
Oleh :ANAS
Perubahan nama tampaknya benar-benar menjadi isu hangat menjelang Kongres HMI ke XXVI di
Usulan ini diungkapkan melalui Loknas yang dihadiri berbagai cabang-cabang. Dalam draft tersebut nama LAPMI diganti menjadi Institut Jurnalisme Mahasiswa atau disingkat menjadi IJM.
Menurut Koordinator Nasional (Kornas) LAPMI, MA Syukur, paling tidak ada dua hal yang mendasari perubahan nama LAPMI menjadi IJM. Pertama, seperti halnya ‘kasus’ nama HMI, nama LAPMI sekarang ini kurang memiliki nilai strategis dalam menjalankan fungsinya. Sebab, meski banyak tawaran kerjasama dari lembaga luar, namun dengan tidak diakuinya LAPMI HMI (MPO) dalam lembaran negara juga berimplikasi dalam soal jaringan.
“Beberapa pihak yang ingin bekerjasama dengan LAPMI dalam pengembangan pendidikan jurnalistik, seperti kedutaan Inggris misalnya, jadi mundur setelah mengetahui LAPMI kita ini tidak legal,” ujar Syukur.
Padahal menurut Syukur, lembaga kekaryaan seperti LAPMI menjadi penting perannya untuk mendukung dinamika peran dan
Kedua, perubahan nama LAPMI menjadi Institut Jurnalisme Mahasiswa (IJM) ingin menegaskan lembaga ini pada orientasi pendidikan yang benar-benar terfokus dalam soal jurnalistik. Selama ini LAPMI tidak memiliki kurikulum yang jelas dalam pertrainingan jurnalistik. Efeknya lembaga ini memiliki kelemahan yang sifatnya mendasar dan terkesan tidak serius sebagai ruang kader berkarya melalui aktivitas jurnalistik.
“IJM nantinya memiliki kurikulum pendidikan seperti halnya dalam LK yang berjenjang dengan muatan dan target agar anggota LAPMI benar-benar menguasai jurnalistik,” ucap Syukur.
Usulan
Terjadi dialog yang panjang soal usulan
Nama IJM sendiri banyak mendapat kritik. Cabang Purwokerto misalnya menilai nama Institut Jurnalistik akan mempersempit lembaga ini sebagai ruang yang hanya berkutat soal jurnalistik. “Jurnalistik itu hukum besinya fakta dan wujud kongkritnya berita. Penamaan IJM mendistoris lembaga ini sebagai komunitas menulis yang mempersempit pada berita. Padahal semestinya LAPMI mampu menjadi wadah kepenulisan dalam lingkup yang lebih luas dari berita,” ujar Trisno, salah satu peserta.
Nama IJM berimpikasi sangat jelas dalam kurikulum. Silabus pendidikannya didominasi dengan materi-materi dunia jurnalistik seperti pengantar jurnalisme, teknik reportase, teknik penulisan berita, atau manajemen news room. “Lembaga ini harus memberi bekal pengetahuan dan keterampilan dunia menulis yang lebih luas. Tidak hanya berkutat dengan soal fakta, berita dan kewartawanan. Namun, juga seni menulis lainnya seperti sastra, opini, esai dan sebagainya. Di silabus pendidikan yang ditawarkan tidak ada soal ini,” kritik Trisno.
Cabang-cabang yang lain juga melontarkan pertanyaan dan kritikan. Dari cabang
Sementara itu
Syukur mengungkapkan, silabus yang ada bersifat fleksibel sebagai acuan dalam pendidikan di LAPMI/IJM atau apa pun nama lembaga ini nantinya. “Improvisasi bisa dilakukan dan kita hanya menawarkan kerangkanya saja,” tegas kader asal
Terlepas dari perdebatan yang ada, Loknas LAPMI berlangsung lancar. Acara yang digelar di area wisata Wisma Wijayakusuma, Baturraden ini dihadiri perwakilan LAPMI dari berbagai cabang seperti
Syukur mengatakan, untuk cabang-cabang khususnya di
Jatuh Bangun Pers Mahasiswa Kita
english mobileMenjentikan frasa Pers Mahasiswa, mestinya bukan suatu hal yang asing di telinga para mahasiswa. Setidaknya, kita mengenalnya sebagai sebuah unit kegiatan mahasiswa (UKM). Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) selain memiliki posisi sebagai UKM untuk mengakomodir bakat dan minat mahasiswa di bidang jurnalistik, juga merupakan media yang memiliki visi sosial politik. Salah satu visi pers mahasiswa yang penting adalah : sebagai media komunikasi antara mahasiswa dan birokrat; sebagai ruang publik antara kampus dan pemerintah maupun masyarakat; sebagai media komunikasi antara mahasiswa dan masyarakat. Selain itu, LPM juga merupakan alat ampuh untuk memperkuat eksistensi mahasiswa.
Sedikit menapaktilasi perjalanan pers mahasiswa di Indonesia, di tahun 1914-1941 dapat disebut sebagai periode pertama. Awal terbitnya pers ini depengaruhi oleh gerakan-gerakan kemahasiswaan dan gerakan perjuangan lainnya. Seperti Jong Java yang diterbitkan oleh pelajar dan mahasiswa tahun 1914. Soeara Indonesia Moeda yang diterbitkan oleh pemuda yang tergabung dalam Sumpah Pemuda tahun 1928. Jaar Boek diterbitkan oleh THS (sekarang ITB) tahun 1930-1941.
Di Zaman Demokrasi Liberal (1945-1959) memberi kesempatan yang luas untuk terbitnya pers kampus. Bagaikan jamur di musin hujan, di Jakarta tercatat ada 10 penerbitan mahasiswa, di Bandung terdapat 10 pers mahasiswa, di Yogyakarta ada 9 pers mahasiswa, bahkan di luar Jawa pun mahasiswa tak mau kalah. Di Makassar ada Duta Mahasiswa, di Medan ada Gema Universitas, dan di Padang juga terbit Tifa Mahasiswa.
Di zaman Demokrasi Terpimpin (1959-1966), sesuai zamannya, pers kampus pun ikut tenggelam, karena kekejaman politik penguasa saat itu. Tercatat di Yogyakarta pers mahasiswa Gajah Mada dan Gema habis, di Jakarta Majalah Forum dan Mahasiswa mandek.
Zaman Demokrasi Orde Baru (1966-1971), dengan tumbangnya G 30/S-PKI mulailah lagi semarak suara kampus dari mahasiswa. Di awal-awal pemerintahan Orde Baru, pers mahasiswa cukup bisa bernafas dengan lega, sehingga tidak sedikit pers mahasiswa mulai bermunculan, seperti KAMI (Jakarta, Surabaya, Makassar), Mahasiswa Indonesia (Edisi Jawa Tengah dan Jawa Barat), Mimbar Demokrasi (Yogyakarta), Muhibbah (Universitas Islam Indonesia), Mimbar Mahasiswa (Banjarmasin), Gelora Mahasiswa Indonesia (Malang), dan rnasih banyak lagi. Beberapa media yang disebutkan diatas bahkan cukup fenomenal, pembacanya bukan hanya kalangan mahasiswa, tetapi juga masyarakat umum dengan oplah mencapai 30.000 -70.000 eksemplar.
Di tahun 1972-1997 (zaman Orde Baru), kontrol mahasiswa mulai dibungkam, sehingga meskipun keberadaan pers kampus masih ada, tapi daya kritisnya sudah mandul.Terlebih pasca peristiwa MALARI, pemerintah mulai represif terhadap aktivitas-aktivitas mahasiswa. Hal ini menstimulan aksi-aksi protes dari mahasiswa yang kemudian menyalurkan aspirasinya melalui lembaga-lembaga kemahasiswaan, yang diantaranya dilakukan oleh Dewan Mahasiswa (Dema). Dema menerbitkan pamflet,serta media lain yang berisi kecaman, protes-protes terhadap berbagai kebijakan pemerintah di awal orde baru. Pemerintah kemudian melalui keputusan pangkopkamtib menonaktifkan Dema pada tahun 1978. Menyusul pula dimatikannya lembaga-lembaga mahasiswa lain. Sama halnya dengan Lembaga Pers Mahasiswa. Di era itu, dikenal adanya IPMI ( Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia, berdiri tahun 1955) yang menjadi satu-satunya wadah nasional pers mahasiswa Indonesia dan sempat menjadi salah satu motor gerakan mahasiswa. Tak beda dengan lembaga mahasiswa lain, IPMI pun menghadapi kematiannya di tahun 1982. Masa ini dikenal dengan normalisasi kehidupan kampus. Hal tersebut puncaknya justru terjadi di akhir tahun 1997. Dan awal tahun 1998 terjadilah gerakan mahasiswa yang terkenal dengan reformasinya.
Terakhir adalah zaman reformasi (1998-sekarang). Sebagaimana di awal pemerintahan Orde Baru, pers dibuka lebar-lebar, tidak terkecuali pers kampus. Bahkan di era ini, pers kampus mendapat kebebasan untuk melakukan kritik sosial terhadap pemerintah. Kini kita bisa mengenal Balairung (LPM UGM), Sketsa (LPM UNSOED), Eksepsi (LPM Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin), Kreatif Media Mahasiswa (LPM UNIMEDJl), Lingua (LPM Fak. Kedokteran Unair), Independensia, KLIK (94). (LPM Univ. Wijaya Kusuma Surabaya), Jumpa (LPM Univ. Pasundan), Didaktik. (LPM FKIP Univ. Muhamadiyah Malang), Berita Kontras (Menteng-Jakpus), AMANAT (LPM IAIN Walisongo), dan lain sebagainya. Tak ketinggalan pula bangkitnya Lembaga Pers Mahasiswa Islam yang digawangi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). (to be continued....please open the next page!)
Namun, ada fenomena ironis yang terjadi. Disaat kesempatan terbuka luas, pers mahasiwa kini nampaknya kurang populer ditengah-tengah mahasiwa. Banyak faktor yang dapat menjadi penyebab hal itu. Rendahnya minat baca tulis di kalangan masyarakat (dalam hal ini :mahasiswa) merupakan hal yang memperburuk lesunya pers mahasiswa. Kebanyakan mahasiswa mengidentikan kegiatan baca tulis dengan paper-paper, serta tugas kuliah yang dirasa sebagai beban. Selain itu, kurangnya apresiasi dari pengelola kampus terhadap budaya menulis juga menjadi faktor yang berpengaruh. Tak ayal pula, iklim kapitalis media turut andil dalam menurunnya semangat LPM. Iklim kapitalis media menyebabkan beberapa hal, yakni membuat acara infotainment lebih menggugah masyarakat, kemudian peredaran surat kabar yang full section (dari politik hingga gossip terpanas ada), membuat pers mahasiswa sulit menentukan positioning segmen pasar.
So, Pers Mahasiswa kini perlu melakukan reposisi dan reorientasi. Kekuatan pena sebagai pencatat jengkal peradaban serta peran mahasiswa sebagai agent of change , sudah lebih dari cukup sebagai semangat untuk lebih menghidupkan Pers Mahasiswa. Karena matinya pers mahasiwa berarti matinya demokrasi di kampus.
Keep fighting!hidup mahasiwa!YAKUSA!!! (dari berbagai sumber / nta)
Kuli Tinta Satria Hijau Hitam
english mobileDiamanahkannya penyelenggaraan perdana LOKNAS LAPMI kepada cabang purwokerto, merupakan “hadiah” tersendiri bagi kami. Beberapa alasan berdiri di belakang penunjukan sang “satria” menjadi tuan rumah. Award “tersehat” di tengah-tengah puluhan cabang lainnya merupakan salah satu latar belakang berkumpulnya teman-teman LAPMI se-Indonesia di bumi Baturaden ini. Tak pelak muncul juga courius, sebenarnya bagaimana sih kondisi LAPMI Purwokerto, sang Satria Hijau Hitam???
Bukan bermaksud menjadikan ruang ini untuk bernarsis ria, mungkin sekedar ingin berbagi mengenai kami dan kita.
Tak ada uraian pena yang dapat dijadikan referensi selayaknya hand out mata kuliah sejarah. Karena ternyata-dengan jujur diakui-walaupun sebagai lembaga Pers, yang identik dengan kekuatan pena, karya pena kami belumlah terhitung banyak. Untuk menyusun kisah singkat ini pun, perlu mengernyitkan dahi untuk membolak-balik lembar-lembar LPJ LAPMI dari tahun ke tahun.
Tanpa tertulis sejarah, namun diakui secara de facto, sekitar dua dasawarsa yang lalu, Lembaga Pers mulai terbentuk mewarnai dinamika perjalanan HMI Purwokerto. Dengan beberapa sebab, sekian lama , sang satria vakum. Hingga akhirnya lima tahun yang lalu, reborn of LAPMI terjadi dengan digawangi oleh kanda Arjuna (2002). Kanda Arjuna seolah menjadi “arjuna” bagi kita, dengan usaha kerasnya, beliau membangkitkan kembali jiwa-jiwa jurnalistik para kader hijau hitam.
Bukan sebuah euforia belaka, atau istilah jawa-nya “ anget-anget mendoan”, kebangkitan LAPMI tak berhenti sampai di tangan sang “arjuna”, namun tetap berkembang terus. Piala bergilir dirut LAPMI pun ber-estafet dari tangan bang Arjuna kepada kanda Juwardi (2003), kanda Nur Cholid (2004), kanda Agus Miftakhudin (2005), kanda Eko (2006), serta sekarang di tangan kepengurusan Kartika Vijayanti. Dengan tetap memegang semangat dari Muhyidin M.Dahlan yang menyatakan Scripta Manent Verba Volant (yang tertulis akan tetap mengabdi, yang terucap akan selalu bersama angin), sang satria hijau hitam terus maju dan bergerak menuliskan tiap jengkal peradaban.
Hingga kini, LAPMI Purwokerto memiliki berbagai aktivitas. Penerbitan buletin berkala (kala-kala ada, kala-kala juga tidak ada, J ) bertajuk “ INSPIRASI”, leaflet “UNIVERSITARIA”, menunjukan eksistensi LAPMI Purwokerto sebagai Lembaga Pers Mahasiswa Islam. Hadirnya LAPMI cukup memberi warna ditengah-tengah pergerakan mahasiswa kota satria Purwokerto ini. Beberapa pelatihan jurnalistik juga rutin diadakan dengan maksud untuk meng up-grade para personil. Tak jarang diskusi-diskusi tentang dunia jurnalistik diadakan pula dengan menghadirkan praktis-praktisi media lokal. Kini, LAPMI Purwokerto juga tak hanya berunjuk gigi melalui lembar-lembar karya pena, namun kami juga mencoba memanfaatkan perkembangan teknologi informasi. Perkembangan kami dapat dipantau melalui cyber di alamat http://satriahijauhitam.blogspot.com . Walaupun belum sepenuhnya kami rutin melakukan up-date, setidaknya itu adalah upaya kami untuk terus eksis ditengah perkembangan media. Dengan semangat YAKUSA (yakin usaha sampai), LAPMI Purwokerto terus mencoba membenahi diri untuk dapat menjadi lembaga pers mahasiwa Islam yang berindependensi dalam menuliskan setiap jengkal peradaban. YAKUSA!!! (with full luph 4 members LAPMI, keep fighting, keep Allah in our heart)
-nt@-