LAPMI (Juga) Berubah Nama

english mobile


Oleh :ANAS

Perubahan nama tampaknya benar-benar menjadi isu hangat menjelang Kongres HMI ke XXVI di Jakarta. Belum selesai polemik perubahan nama HMI dengan penambahan kata MPO dalam konstitusi, kemarin (28-29/7), dalam Lokakarya Nasional LAPMI yang digelar di Purwokerto, polemik yang sama juga muncul. Melalui draft usulan dari Kornas LAPMI dalam Loknas, diusulkan agar LAPMI juga berubah nama.

Usulan ini diungkapkan melalui Loknas yang dihadiri berbagai cabang-cabang. Dalam draft tersebut nama LAPMI diganti menjadi Institut Jurnalisme Mahasiswa atau disingkat menjadi IJM.

Menurut Koordinator Nasional (Kornas) LAPMI, MA Syukur, paling tidak ada dua hal yang mendasari perubahan nama LAPMI menjadi IJM. Pertama, seperti halnya ‘kasus’ nama HMI, nama LAPMI sekarang ini kurang memiliki nilai strategis dalam menjalankan fungsinya. Sebab, meski banyak tawaran kerjasama dari lembaga luar, namun dengan tidak diakuinya LAPMI HMI (MPO) dalam lembaran negara juga berimplikasi dalam soal jaringan.

“Beberapa pihak yang ingin bekerjasama dengan LAPMI dalam pengembangan pendidikan jurnalistik, seperti kedutaan Inggris misalnya, jadi mundur setelah mengetahui LAPMI kita ini tidak legal,” ujar Syukur.

Padahal menurut Syukur, lembaga kekaryaan seperti LAPMI menjadi penting perannya untuk mendukung dinamika peran dan gerakan HMI. “Perubahan nama LAPMI tidak ada hubungannya dengan perbincangan soal ideologi. Ini sifatnya strategis saja. Sebab banyak pihak enggan bekerjasama dengan kita,” tandasnya.

Kedua, perubahan nama LAPMI menjadi Institut Jurnalisme Mahasiswa (IJM) ingin menegaskan lembaga ini pada orientasi pendidikan yang benar-benar terfokus dalam soal jurnalistik. Selama ini LAPMI tidak memiliki kurikulum yang jelas dalam pertrainingan jurnalistik. Efeknya lembaga ini memiliki kelemahan yang sifatnya mendasar dan terkesan tidak serius sebagai ruang kader berkarya melalui aktivitas jurnalistik.

“IJM nantinya memiliki kurikulum pendidikan seperti halnya dalam LK yang berjenjang dengan muatan dan target agar anggota LAPMI benar-benar menguasai jurnalistik,” ucap Syukur.

Usulan perubahan nama dan draft kurikulum yang disampaikan Kornas mendapat tanggapan kritis dari berbagai peserta Loknas. Loknas sendiri mengagendakan pembahasan draft usulan AD/ART yang nantinya direkomendasikan dalam Munas LAPMI di Kongres.

Terjadi dialog yang panjang soal usulan perubahan nama. Beberapa cabang dengan terang-terangan menyatakan mendukungnya. Sementara beberapa yang lain menolaknya. Diskusi tidak sampai pada persetujuan usulan nama dari Kornas dan tetap memberikan ruang di Munas LAPMI menjadi ‘ajang pertempuran’ guna memutuskan soal ini. Meski dari perdebatan yang ada sempat mengerucut untuk terjadinya perubahan nama, namun semua sepakat agar peserta Munas LAPMI yang akan memberikan keputusan.

Nama IJM sendiri banyak mendapat kritik. Cabang Purwokerto misalnya menilai nama Institut Jurnalistik akan mempersempit lembaga ini sebagai ruang yang hanya berkutat soal jurnalistik. “Jurnalistik itu hukum besinya fakta dan wujud kongkritnya berita. Penamaan IJM mendistoris lembaga ini sebagai komunitas menulis yang mempersempit pada berita. Padahal semestinya LAPMI mampu menjadi wadah kepenulisan dalam lingkup yang lebih luas dari berita,” ujar Trisno, salah satu peserta.

Nama IJM berimpikasi sangat jelas dalam kurikulum. Silabus pendidikannya didominasi dengan materi-materi dunia jurnalistik seperti pengantar jurnalisme, teknik reportase, teknik penulisan berita, atau manajemen news room. “Lembaga ini harus memberi bekal pengetahuan dan keterampilan dunia menulis yang lebih luas. Tidak hanya berkutat dengan soal fakta, berita dan kewartawanan. Namun, juga seni menulis lainnya seperti sastra, opini, esai dan sebagainya. Di silabus pendidikan yang ditawarkan tidak ada soal ini,” kritik Trisno.

Cabang-cabang yang lain juga melontarkan pertanyaan dan kritikan. Dari cabang Semarang misalnya, menyatakan agar LAPMI menyediakan ruang untuk anggotanya mengenal dunia tulis-menulis yang cakupannya melampaui berita. “LAPMI jangan sampai hanya berorientasi mendidik anggotanya sebagai wartawan saja,” ujar perwakilan cabang Semarang.

Sementara itu Kornas LAPMI, MA Syukur menyatakan, IJM adalah pintu masuk bagi kader-kader HMI untuk mengenal dunia jurnalistik. Maka, pada training jurnalistik dasar, sebagai bagian model pendidikan umum, difokuskan pada pemahaman dan pengetahuan soal jurnalistik. “Sementara model penulisan yang lain seperti fiksi, sastra, opini atau kolom bisa dilakukan pada pendidikan khususnya,” terang Syukur.

Syukur mengungkapkan, silabus yang ada bersifat fleksibel sebagai acuan dalam pendidikan di LAPMI/IJM atau apa pun nama lembaga ini nantinya. “Improvisasi bisa dilakukan dan kita hanya menawarkan kerangkanya saja,” tegas kader asal kota Tegal ini.

Terlepas dari perdebatan yang ada, Loknas LAPMI berlangsung lancar. Acara yang digelar di area wisata Wisma Wijayakusuma, Baturraden ini dihadiri perwakilan LAPMI dari berbagai cabang seperti Jogjakarta, Wonosobo, Semarang, Purworejo, Jepara, Serang, dan Purwokerto sebagai tuan rumah. Meski, dari jumlah cabang yang hadir, bisa dikatakan peserta Loknas kurang maksimal. Sebab, pelaksanaan Loknas sebenarnya mengundang LAPMI cabang-cabang secara nasional.

Syukur mengatakan, untuk cabang-cabang khususnya di Indonesia timur dan barat memang sulit bisa hadir di acara ini. Kendala geografis dan dekatnya waktu Kongres membuat mereka lebih memilih langsung datang ke kongres yang sebentar lagi akan digelar di Jakarta. “LAPMI itu ada karena kebutuhan cabang. Kornas juga tidak bisa memaksa soal kehadiran mereka di Loknas. Kita hanya berharap, di Munas nanti bisa menghasilkan keputusan yang bisa membuat lembaga pers HMI bisa semakin progresif dan tertata,” harap Syukur. Semoga saja.

(Anas, Litbang LAPMI Purwokerto). LAPMI (Juga) Berubah Nama?
Oleh :ANAS

Perubahan nama tampaknya benar-benar menjadi isu hangat menjelang Kongres HMI ke XXVI di Jakarta. Belum selesai polemik perubahan nama HMI dengan penambahan kata MPO dalam konstitusi, kemarin (28-29/7), dalam Lokakarya Nasional LAPMI yang digelar di Purwokerto, polemik yang sama juga muncul. Melalui draft usulan dari Kornas LAPMI dalam Loknas, diusulkan agar LAPMI juga berubah nama.

Usulan ini diungkapkan melalui Loknas yang dihadiri berbagai cabang-cabang. Dalam draft tersebut nama LAPMI diganti menjadi Institut Jurnalisme Mahasiswa atau disingkat menjadi IJM.

Menurut Koordinator Nasional (Kornas) LAPMI, MA Syukur, paling tidak ada dua hal yang mendasari perubahan nama LAPMI menjadi IJM. Pertama, seperti halnya ‘kasus’ nama HMI, nama LAPMI sekarang ini kurang memiliki nilai strategis dalam menjalankan fungsinya. Sebab, meski banyak tawaran kerjasama dari lembaga luar, namun dengan tidak diakuinya LAPMI HMI (MPO) dalam lembaran negara juga berimplikasi dalam soal jaringan.

“Beberapa pihak yang ingin bekerjasama dengan LAPMI dalam pengembangan pendidikan jurnalistik, seperti kedutaan Inggris misalnya, jadi mundur setelah mengetahui LAPMI kita ini tidak legal,” ujar Syukur.

Padahal menurut Syukur, lembaga kekaryaan seperti LAPMI menjadi penting perannya untuk mendukung dinamika peran dan gerakan HMI. “Perubahan nama LAPMI tidak ada hubungannya dengan perbincangan soal ideologi. Ini sifatnya strategis saja. Sebab banyak pihak enggan bekerjasama dengan kita,” tandasnya.

Kedua, perubahan nama LAPMI menjadi Institut Jurnalisme Mahasiswa (IJM) ingin menegaskan lembaga ini pada orientasi pendidikan yang benar-benar terfokus dalam soal jurnalistik. Selama ini LAPMI tidak memiliki kurikulum yang jelas dalam pertrainingan jurnalistik. Efeknya lembaga ini memiliki kelemahan yang sifatnya mendasar dan terkesan tidak serius sebagai ruang kader berkarya melalui aktivitas jurnalistik.

“IJM nantinya memiliki kurikulum pendidikan seperti halnya dalam LK yang berjenjang dengan muatan dan target agar anggota LAPMI benar-benar menguasai jurnalistik,” ucap Syukur.

Usulan perubahan nama dan draft kurikulum yang disampaikan Kornas mendapat tanggapan kritis dari berbagai peserta Loknas. Loknas sendiri mengagendakan pembahasan draft usulan AD/ART yang nantinya direkomendasikan dalam Munas LAPMI di Kongres.

Terjadi dialog yang panjang soal usulan perubahan nama. Beberapa cabang dengan terang-terangan menyatakan mendukungnya. Sementara beberapa yang lain menolaknya. Diskusi tidak sampai pada persetujuan usulan nama dari Kornas dan tetap memberikan ruang di Munas LAPMI menjadi ‘ajang pertempuran’ guna memutuskan soal ini. Meski dari perdebatan yang ada sempat mengerucut untuk terjadinya perubahan nama, namun semua sepakat agar peserta Munas LAPMI yang akan memberikan keputusan.

Nama IJM sendiri banyak mendapat kritik. Cabang Purwokerto misalnya menilai nama Institut Jurnalistik akan mempersempit lembaga ini sebagai ruang yang hanya berkutat soal jurnalistik. “Jurnalistik itu hukum besinya fakta dan wujud kongkritnya berita. Penamaan IJM mendistoris lembaga ini sebagai komunitas menulis yang mempersempit pada berita. Padahal semestinya LAPMI mampu menjadi wadah kepenulisan dalam lingkup yang lebih luas dari berita,” ujar Trisno, salah satu peserta.

Nama IJM berimpikasi sangat jelas dalam kurikulum. Silabus pendidikannya didominasi dengan materi-materi dunia jurnalistik seperti pengantar jurnalisme, teknik reportase, teknik penulisan berita, atau manajemen news room. “Lembaga ini harus memberi bekal pengetahuan dan keterampilan dunia menulis yang lebih luas. Tidak hanya berkutat dengan soal fakta, berita dan kewartawanan. Namun, juga seni menulis lainnya seperti sastra, opini, esai dan sebagainya. Di silabus pendidikan yang ditawarkan tidak ada soal ini,” kritik Trisno.

Cabang-cabang yang lain juga melontarkan pertanyaan dan kritikan. Dari cabang Semarang misalnya, menyatakan agar LAPMI menyediakan ruang untuk anggotanya mengenal dunia tulis-menulis yang cakupannya melampaui berita. “LAPMI jangan sampai hanya berorientasi mendidik anggotanya sebagai wartawan saja,” ujar perwakilan cabang Semarang.

Sementara itu Kornas LAPMI, MA Syukur menyatakan, IJM adalah pintu masuk bagi kader-kader HMI untuk mengenal dunia jurnalistik. Maka, pada training jurnalistik dasar, sebagai bagian model pendidikan umum, difokuskan pada pemahaman dan pengetahuan soal jurnalistik. “Sementara model penulisan yang lain seperti fiksi, sastra, opini atau kolom bisa dilakukan pada pendidikan khususnya,” terang Syukur.

Syukur mengungkapkan, silabus yang ada bersifat fleksibel sebagai acuan dalam pendidikan di LAPMI/IJM atau apa pun nama lembaga ini nantinya. “Improvisasi bisa dilakukan dan kita hanya menawarkan kerangkanya saja,” tegas kader asal kota Tegal ini.

Terlepas dari perdebatan yang ada, Loknas LAPMI berlangsung lancar. Acara yang digelar di area wisata Wisma Wijayakusuma, Baturraden ini dihadiri perwakilan LAPMI dari berbagai cabang seperti Jogjakarta, Wonosobo, Semarang, Purworejo, Jepara, Serang, dan Purwokerto sebagai tuan rumah. Meski, dari jumlah cabang yang hadir, bisa dikatakan peserta Loknas kurang maksimal. Sebab, pelaksanaan Loknas sebenarnya mengundang LAPMI cabang-cabang secara nasional.

Syukur mengatakan, untuk cabang-cabang khususnya di Indonesia timur dan barat memang sulit bisa hadir di acara ini. Kendala geografis dan dekatnya waktu Kongres membuat mereka lebih memilih langsung datang ke kongres yang sebentar lagi akan digelar di Jakarta. “LAPMI itu ada karena kebutuhan cabang. Kornas juga tidak bisa memaksa soal kehadiran mereka di Loknas. Kita hanya berharap, di Munas nanti bisa menghasilkan keputusan yang bisa membuat lembaga pers HMI bisa semakin progresif dan tertata,” harap Syukur. Semoga saja.

(Anas, Litbang LAPMI Purwokerto).

Jatuh Bangun Pers Mahasiswa Kita

english mobile

Menjentikan frasa Pers Mahasiswa, mestinya bukan suatu hal yang asing di telinga para mahasiswa. Setidaknya, kita mengenalnya sebagai sebuah unit kegiatan mahasiswa (UKM). Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) selain memiliki posisi sebagai UKM untuk mengakomodir bakat dan minat mahasiswa di bidang jurnalistik, juga merupakan media yang memiliki visi sosial politik. Salah satu visi pers mahasiswa yang penting adalah : sebagai media komunikasi antara mahasiswa dan birokrat; sebagai ruang publik antara kampus dan pemerintah maupun masyarakat; sebagai media komunikasi antara mahasiswa dan masyarakat. Selain itu, LPM juga merupakan alat ampuh untuk memperkuat eksistensi mahasiswa.
Sedikit menapaktilasi perjalanan pers mahasiswa di Indonesia, di tahun 1914-1941 dapat disebut sebagai periode pertama. Awal terbitnya pers ini depengaruhi oleh gerakan-gerakan kemahasiswaan dan gerakan perjuangan lainnya. Seperti Jong Java yang diterbitkan oleh pelajar dan mahasiswa tahun 1914. Soeara Indonesia Moeda yang diterbitkan oleh pemuda yang tergabung dalam Sumpah Pemuda tahun 1928. Jaar Boek diterbitkan oleh THS (sekarang ITB) tahun 1930-1941.
Di Zaman Demokrasi Liberal (1945-1959) memberi kesempatan yang luas untuk terbitnya pers kampus. Bagaikan jamur di musin hujan, di Jakarta tercatat ada 10 penerbitan mahasiswa, di Bandung terdapat 10 pers mahasiswa, di Yogyakarta ada 9 pers mahasiswa, bahkan di luar Jawa pun mahasiswa tak mau kalah. Di Makassar ada Duta Mahasiswa, di Medan ada Gema Universitas, dan di Padang juga terbit Tifa Mahasiswa.
Di zaman Demokrasi Terpimpin (1959-1966), sesuai zamannya, pers kampus pun ikut tenggelam, karena kekejaman politik penguasa saat itu. Tercatat di Yogyakarta pers mahasiswa Gajah Mada dan Gema habis, di Jakarta Majalah Forum dan Mahasiswa mandek.
Zaman Demokrasi Orde Baru (1966-1971), dengan tumbangnya G 30/S-PKI mulailah lagi semarak suara kampus dari mahasiswa. Di awal-awal pemerintahan Orde Baru, pers mahasiswa cukup bisa bernafas dengan lega, sehingga tidak sedikit pers mahasiswa mulai bermunculan, seperti KAMI (Jakarta, Surabaya, Makassar), Mahasiswa Indonesia (Edisi Jawa Tengah dan Jawa Barat), Mimbar Demokrasi (Yogyakarta), Muhibbah (Universitas Islam Indonesia), Mimbar Mahasiswa (Banjarmasin), Gelora Mahasiswa Indonesia (Malang), dan rnasih banyak lagi. Beberapa media yang disebutkan diatas bahkan cukup fenomenal, pembacanya bukan hanya kalangan mahasiswa, tetapi juga masyarakat umum dengan oplah mencapai 30.000 -70.000 eksemplar.
Di tahun 1972-1997 (zaman Orde Baru), kontrol mahasiswa mulai dibungkam, sehingga meskipun keberadaan pers kampus masih ada, tapi daya kritisnya sudah mandul.Terlebih pasca peristiwa MALARI, pemerintah mulai represif terhadap aktivitas-aktivitas mahasiswa. Hal ini menstimulan aksi-aksi protes dari mahasiswa yang kemudian menyalurkan aspirasinya melalui lembaga-lembaga kemahasiswaan, yang diantaranya dilakukan oleh Dewan Mahasiswa (Dema). Dema menerbitkan pamflet,serta media lain yang berisi kecaman, protes-protes terhadap berbagai kebijakan pemerintah di awal orde baru. Pemerintah kemudian melalui keputusan pangkopkamtib menonaktifkan Dema pada tahun 1978. Menyusul pula dimatikannya lembaga-lembaga mahasiswa lain. Sama halnya dengan Lembaga Pers Mahasiswa. Di era itu, dikenal adanya IPMI ( Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia, berdiri tahun 1955) yang menjadi satu-satunya wadah nasional pers mahasiswa Indonesia dan sempat menjadi salah satu motor gerakan mahasiswa. Tak beda dengan lembaga mahasiswa lain, IPMI pun menghadapi kematiannya di tahun 1982. Masa ini dikenal dengan normalisasi kehidupan kampus. Hal tersebut puncaknya justru terjadi di akhir tahun 1997. Dan awal tahun 1998 terjadilah gerakan mahasiswa yang terkenal dengan reformasinya.
Terakhir adalah zaman reformasi (1998-sekarang). Sebagaimana di awal pemerintahan Orde Baru, pers dibuka lebar-lebar, tidak terkecuali pers kampus. Bahkan di era ini, pers kampus mendapat kebebasan untuk melakukan kritik sosial terhadap pemerintah. Kini kita bisa mengenal Balairung (LPM UGM), Sketsa (LPM UNSOED), Eksepsi (LPM Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin), Kreatif Media Mahasiswa (LPM UNIMEDJl), Lingua (LPM Fak. Kedokteran Unair), Independensia, KLIK (94). (LPM Univ. Wijaya Kusuma Surabaya), Jumpa (LPM Univ. Pasundan), Didaktik. (LPM FKIP Univ. Muhamadiyah Malang), Berita Kontras (Menteng-Jakpus), AMANAT (LPM IAIN Walisongo), dan lain sebagainya. Tak ketinggalan pula bangkitnya Lembaga Pers Mahasiswa Islam yang digawangi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). (to be continued....please open the next page!)
Namun, ada fenomena ironis yang terjadi. Disaat kesempatan terbuka luas, pers mahasiwa kini nampaknya kurang populer ditengah-tengah mahasiwa. Banyak faktor yang dapat menjadi penyebab hal itu. Rendahnya minat baca tulis di kalangan masyarakat (dalam hal ini :mahasiswa) merupakan hal yang memperburuk lesunya pers mahasiswa. Kebanyakan mahasiswa mengidentikan kegiatan baca tulis dengan paper-paper, serta tugas kuliah yang dirasa sebagai beban. Selain itu, kurangnya apresiasi dari pengelola kampus terhadap budaya menulis juga menjadi faktor yang berpengaruh. Tak ayal pula, iklim kapitalis media turut andil dalam menurunnya semangat LPM. Iklim kapitalis media menyebabkan beberapa hal, yakni membuat acara infotainment lebih menggugah masyarakat, kemudian peredaran surat kabar yang full section (dari politik hingga gossip terpanas ada), membuat pers mahasiswa sulit menentukan positioning segmen pasar.
So, Pers Mahasiswa kini perlu melakukan reposisi dan reorientasi. Kekuatan pena sebagai pencatat jengkal peradaban serta peran mahasiswa sebagai agent of change , sudah lebih dari cukup sebagai semangat untuk lebih menghidupkan Pers Mahasiswa. Karena matinya pers mahasiwa berarti matinya demokrasi di kampus.
Keep fighting!hidup mahasiwa!YAKUSA!!! (dari berbagai sumber / nta)

Kuli Tinta Satria Hijau Hitam

english mobile

Diamanahkannya penyelenggaraan perdana LOKNAS LAPMI kepada cabang purwokerto, merupakan “hadiah” tersendiri bagi kami. Beberapa alasan berdiri di belakang penunjukan sang “satria” menjadi tuan rumah. Award “tersehat” di tengah-tengah puluhan cabang lainnya merupakan salah satu latar belakang berkumpulnya teman-teman LAPMI se-Indonesia di bumi Baturaden ini. Tak pelak muncul juga courius, sebenarnya bagaimana sih kondisi LAPMI Purwokerto, sang Satria Hijau Hitam???
Bukan bermaksud menjadikan ruang ini untuk bernarsis ria, mungkin sekedar ingin berbagi mengenai kami dan kita.
Tak ada uraian pena yang dapat dijadikan referensi selayaknya hand out mata kuliah sejarah. Karena ternyata-dengan jujur diakui-walaupun sebagai lembaga Pers, yang identik dengan kekuatan pena, karya pena kami belumlah terhitung banyak. Untuk menyusun kisah singkat ini pun, perlu mengernyitkan dahi untuk membolak-balik lembar-lembar LPJ LAPMI dari tahun ke tahun.
Tanpa tertulis sejarah, namun diakui secara de facto, sekitar dua dasawarsa yang lalu, Lembaga Pers mulai terbentuk mewarnai dinamika perjalanan HMI Purwokerto. Dengan beberapa sebab, sekian lama , sang satria vakum. Hingga akhirnya lima tahun yang lalu, reborn of LAPMI terjadi dengan digawangi oleh kanda Arjuna (2002). Kanda Arjuna seolah menjadi “arjuna” bagi kita, dengan usaha kerasnya, beliau membangkitkan kembali jiwa-jiwa jurnalistik para kader hijau hitam.
Bukan sebuah euforia belaka, atau istilah jawa-nya “ anget-anget mendoan”, kebangkitan LAPMI tak berhenti sampai di tangan sang “arjuna”, namun tetap berkembang terus. Piala bergilir dirut LAPMI pun ber-estafet dari tangan bang Arjuna kepada kanda Juwardi (2003), kanda Nur Cholid (2004), kanda Agus Miftakhudin (2005), kanda Eko (2006), serta sekarang di tangan kepengurusan Kartika Vijayanti. Dengan tetap memegang semangat dari Muhyidin M.Dahlan yang menyatakan Scripta Manent Verba Volant (yang tertulis akan tetap mengabdi, yang terucap akan selalu bersama angin), sang satria hijau hitam terus maju dan bergerak menuliskan tiap jengkal peradaban.
Hingga kini, LAPMI Purwokerto memiliki berbagai aktivitas. Penerbitan buletin berkala (kala-kala ada, kala-kala juga tidak ada, J ) bertajuk “ INSPIRASI”, leaflet “UNIVERSITARIA”, menunjukan eksistensi LAPMI Purwokerto sebagai Lembaga Pers Mahasiswa Islam. Hadirnya LAPMI cukup memberi warna ditengah-tengah pergerakan mahasiswa kota satria Purwokerto ini. Beberapa pelatihan jurnalistik juga rutin diadakan dengan maksud untuk meng up-grade para personil. Tak jarang diskusi-diskusi tentang dunia jurnalistik diadakan pula dengan menghadirkan praktis-praktisi media lokal. Kini, LAPMI Purwokerto juga tak hanya berunjuk gigi melalui lembar-lembar karya pena, namun kami juga mencoba memanfaatkan perkembangan teknologi informasi. Perkembangan kami dapat dipantau melalui cyber di alamat http://satriahijauhitam.blogspot.com . Walaupun belum sepenuhnya kami rutin melakukan up-date, setidaknya itu adalah upaya kami untuk terus eksis ditengah perkembangan media. Dengan semangat YAKUSA (yakin usaha sampai), LAPMI Purwokerto terus mencoba membenahi diri untuk dapat menjadi lembaga pers mahasiwa Islam yang berindependensi dalam menuliskan setiap jengkal peradaban. YAKUSA!!! (with full luph 4 members LAPMI, keep fighting, keep Allah in our heart)

-nt@-

“ IKHTIAR HMI MENERUSKAN TUGAS PROFETIS DALAM TANGGUNG JAWAB KEUMMATAN “

english mobile


Oleh: Arfianto Purbolaksono

Gaung kongres ke-XXVI Himpunan Mahasiswa Islam hanya sekitar beberapa bulan ke depan. Saatnya kita kembali meng-evaluasi tubuh himpunan yang berumur 60 tahun ini. Kemudian pertanyaannya adalah apa yang telah HMI lakukan selama ini ? dan apa yang akan dilakukan HMI ke depan ?. Sebuah pertanyaan yang akan terlintas dalam benak sebagai kader maupun fungsionaris HMI. Memulai perjuangan HMI, kita akan mengingat perjuangan Muhammad SAW. Perjuangan yang tak pernah lelah mengobarkan kalimat tauhid kepada ummatnya. Mungkin tulisan ini hanya sekedar renungan dari kader HMI atas keberadaan dan perjuangannya selama ini.

Hakekat Manusia

Lihat pada dirimu sendiri sebentar dan tanyakan siapa yang mengukirmu.

Dari mana engkau datang, dari tempat mana, siapa yang mengukirmu ?

Rumi

Seorang penyair dan filsuf dari timur Sir Muhammad Iqbal mengatakan dalam bukunya Rekonstruksi Pemikiran Agama Islam bahwa Al-quran dengan cara yang sangat sederhana dan penuh daya menekankan individualitas dan keunikan manusia adalah memiliki tinjauan yang pasti mengenai takdir manusia sebagai kesatuan kehidupan. Dari Al-quran dipaparkan dengan jelas tentang konsepsi manusia, yaitu bahwa manusia sebagai pilihan Tuhan, bahwa manusia dengan segala kesalahannya ditunjuk untuk menjadi wakil tuhan di muka bumi, dan bahwa manusia adalah suatu pribadi yang merdeka, yang diterima menginsafi resiko yang ditempuhnya.

Dalam misinya di dunia manusia diberikan sebuah petunjuk oleh Allah SWT, yaitu Al-Quran sebagai satu kesatuan organik. Dalam Al-Quran sendiri menyebutkan bahwa kelemahan manusia yang paling mendasar ialah kesempitan ( dla’if ) dan kepicikan ( qathr ) sehingga manusia mendapatkan dosa-dosa yang besar. Memang manusia bukanlah seperti makhluk duniawi murni secara total, hidup dengan nyaman dan tentram di dunia tanpa merusak lingkungan alam sekitar.

Ada

sebuah dasar-dasar etika Islam yang sebenarnya melandasi manusia hidup di dunia ini, yaitu Iman, Islam, dan Taqwa, sehingga dapat memunculkan kesalehan manusia. Fungsi kesalehan manusia selalu tidak dapat dipisahkan dari realitas. Hukum-hukum keagamaan dan segala ritualnya mempunyai fungsi-fungsi kosmik, dan manusia disadarkan bahwa tidak mungkin baginya menghindari tanggung jawab sebagai makhluk di bumi. “ Manusia seperti diibaratkan penghubung antara surga dan bumi, dari bentuk spiritual maupun material, diciptakan untuk merefleksikan sinar surga tertinggi Tuhan di dunia” Sayyed Hossein Nasr dalam Intelegensia & Spiritualitas Agama-agama. Tanggung jawab kepada masyarakat, alam, dan Tuhan muncul dari kesadaran sepenuhnya sendiri dan merefleksikan dari kedirian sempurna.

Meneruskan visi gerakan kenabian

Perjuangan kenabian sejak diturunkannya nabi-nabi setelah Adam AS sampai Muhammad SAW, mempunyai peranan bagaimana penyadaran bagi manusia di ruang dan waktu yang berbeda-beda tersebut ke arah tujuan yang satu, yaitu peng-Esa-an Allah SWT. Islam diturunkan kepada Muhammad SAW dan seluruh umatnya, adalah sebagai penyempurnaan dari proses panjang penegakan kalimat tauhid. Dengan turunnya Islam sebagai agama yang sempurna bagi makhluk di muka bumi. Maka dapat dikatakan bahwa visi gerakan kenabian adalah bagaimana Menegakkan Kalimat Tauhid tersebut

Belajar dari visi kenabian bahwasanya menurut DR. Kuntowijoyo dalam teorinya Ilmu Sosial Profetik ada tiga muatan di dalam tugas profetis ini, yakni humanisasi (amar ma’ruf), liberasi (nahi munkar) dan transendensi (tu’minuna billah) (QS. 3:110). Dengan perangkat analisis sosial dan tugas profetis di atas, maka manusia mampu menerjemahkan gagasan-gagasan Allah yang terekam dalam ayat-ayat Qauliyyah dan ayat-ayat kauniyyah untuk kehidupan alam semesta.

HMI sebagai organisasi perkaderan dan perjuangan

Himpunan Mahasiswa Islam yang lahir pada tanggal 5 Februari 1947 dilahirkan dari rahim kehimpitan sejarah kebangsaan dan keummatan. Dengan melihat realitas kebangsaan dan keummatan pada saat itu, timbul sebuah inisiatif dari segolongan pemuda yang merasakan sebuah efek dari kolonialisme.

HMI sebagai organisasi perkaderan dan perjuangan mencoba menempatkan organisasi ini sebagai director of change. Maksudnya ialah HMI sebagai organisasi perkaderan hakekatnya ialah menciptakan kualitas-kualitas unggul bagi kadernya yang memiliki dasar perspektif ke-tauhidan dan dengan tegas berpihak pada kebenaran. Sedangkan hakekat dari perjuangan ialah melakukan dakwah Islamiyah dari jammah HMI sebagai bentuk pengimplementasian ajaran Islam dengan berpegang teguh akan kebenaran dan tidak meninggalkan kaum mustadh’ afin. Hakekat perkaderan dan perjuangan ini adalah bagai dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan. Yang jika satu sisi tidak berjalan maka sisi lain pun tidak ada yang berjalan.

Sebagai organisasi director of change, infrasturktur HMI yaitu kader HMI seharusnya senantiasa meng-elaborasi system rekayasa yang ada dalam tubuh HMI agar kontekstual dengan kebutuhan HMI dan kondisi kebangsaan serta keummatan hari ini. Ketika infrastruktur HMI tergarap dengan baik maka suprastruktur HMI yaitu PB maupun Cabang dapat membuat output-output kebijakan untuk merubah kondisi tersebut secara jamaah. Jadi ada sebuah keselarasan gerakan yang coba di jalankan demi terwujudnya tujuan dari HMI tersebut.

HMI dan Tantangan zaman

Jika kita menghayati perkaderan dan perjuangan HMI maka tidaklah lepas dengan gerakan yang dilakukan Nabi Muhammad SAW untuk menyebarluaskan Islam sebagai petunjuk manusia di muka bumi ini. HMI dengan entitas kemahasiswaan yang mengutamakan intelektual sebagai modal dasar gerakannya harus mampu membaca hukum tuhan dan dijadikan sebuah tawaran konsepsi ke-ilmuwan yang dapat di-implementasikan pada konteks hari ini. Teorisasi merupakan dasar dakwah yang coba dikumandangkan kader-kader HMI. Seperti halnya Muhammad SAW yang mendapatkan wahyu Allah SWT melalui perantara jibril. Muhammad SAW dapat menangkap wahyu tersebut dan didawahkan menjadi hukum-hukum yang mengatur umat-nya terdahulu.

“ Sesungguhnya Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman, ketika Allah mengutus di antara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri, (dengan membawa tugas) membacakan kepada mereka tentang ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab (Al-Quran) dan Al-Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi itu), mereka benar-benar berada dalam kesesatan yang nyata” (QS. Ali Imran : 164).

Konsepsi Ilmu yang berdasarkan wahyu-wahyu tuhan diperlukan pada saat ini, karena kondisi ke-ummatan yang selalu terbentur dengan fiqih-fiqih. Teorisasi yang coba dilakukan oleh intelektual HMI berbicara tentang sejarah, proses, dan hubungan. Jadi tidak hanya berbicara halal dan haram tapi juga dapat mengantisipasi gejala kedepan, yang tidak reaktif namun aktif menyongsong masa depan (eskatologis).

Kemudian gerakan HMI mencoba membebaskan masyarakat dari system jahiliyah saat ini, yaitu mainstream matrelisme, individulisme, hedonisme, pragmatisme, dan juga konsumerisme. Hal tersebut sangatlah eksploitatif karena itulah yang menjadi efek terbesar dari Neoliberalisme yang menjadi musuh HMI pada saat ini. Seperti halnya kejahiliyahan bangsa Arab dahulu dibersihkan oleh Muhammad SAW. Kemusyrikan berganti dengan ketauhidan. Kedhaliman menjadi keadilan. Kedisharmonian menjadi harmoni. Kekerasan menjadi kedamaian. Kejahatan menjadi kebaikan.

Setelah itu gerakan HMI haruslah transformatif, Al-Quran dan Al-Hadits yang diturunkan Allah SWT haruslah dapat selalu ditransformasikan kepada masyarakat agar tidak terjadi perkembangan masyarakat yang statis, namun dinamis. Pergerakan HMI tidaklah berhenti untuk satu masa tetapi gerakan HMI selalu dinamis untuk melakukan dakwah bagi masyarakat dengan tetap berpegang teguh terhadap Al-Quran dan Al-Hadits.

Peningkatan kapasitas kader sebagai perlawanan zaman

Kondisi yang terjadi pada saat ini di tubuh himpunan sangatlah berada dalam titik yang sangat memperihatinkan. Hilangnya nilai-nilai universal yang dibawa oleh Islam mulai mengalami kegoyahan dalam menghadapi permasalahan zaman. Sebuah kondisi juga yang diperparah dengan rendahnya kapasitas intelektual kader dalam beberapa kurun waktu terakhir ini. Memang sangat ironi jika kita melihat kebesaran himpunan yang dibesarkan oleh tradisi pemahaman ke-Islaman yang terbuka dan dikuatkan dengan proses dialektika yang terbangun dengan kuat.

Pembangunan kapasitas kader merupakan hal yang paling utama bagi perbaikan kondisi ke depan. Dengan menghadapi kondisi zaman yang mulai menggila pada saat ini maka diperlukan sebuah system rekayasa di tubuh HMI untuk menimbulkan budaya tanding bagi budaya saat ini dengan keunggulan kapasitas kader-kader HMI. Tetapi jika HMI sudah kehilangan kritisnya terhadap budaya sekarang maka mau tidak mau dikatakan bahwa HMI tinggal menunggu menanti kematiannya.

Seperti yang dikatakan Emha Ainun Nadjib dalam bukunya “ Terus Mencoba Budaya Tanding “ bahwa “ budaya tanding tak bisa tak ada, dalm dimensi yang manapun dari hidup ini. Konflik diperlukan untuk mementaskan sejarah dari kehidupan. Bahkan untuk supaya alam ini barnama alam. Dialektika abadi“ . Budaya tanding yang diharapkan kepada kader-kader HMI ialah bagaimana dengan kehimpitan budaya

massa

saat ini kader HMI memainkan peranannya sebagai director of change. Benar Neoliberalisme sudah masuk ke wilayah ranah pemikiran masyarakat saat ini. Namun Islam mengajarkan akhlakhul karimah kepada kita agar berprilaku mulia. Akhlakul karimah itu harus di tarik ke wilayah sosial dengan perangkat ke-ilmuwan dari intelektual HMI.

Gerakan intelektual yang berlandaskan ke-tauhidan masih menjadi modal dari pergerakan HMI. Sekarang tinggal bagaimana kita membuka ruang bagi terciptanya hal tersebut, demi terwujudnya tatanan masyarakat yang di ridhoi Allah SWT. Amin

Arfianto Purbolaksono

Ketua Umum

Himpunan Mahasiswa Islam

Cabang Purwokerto

Periode 1428-1429 H/ 2007-2008 M

Prees Relase Refleksi 9 thn Reformasi

english mobile


HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM

( ISLAMIC ASSOCIATION OF UNIVERSITY STUDENT )

CABANG PURWOKERTO

Sekretariat : Jl. Kampus No.26 RT 001/ RW 007 Grendeng Purwokerto 53122

E-mail hmimpopwt@yahoo.com, CP: ( 081584513974)



PRESS RELEASE

REFLEKSI 9 TAHUN REFORMASI

Assalamu’alaikum Wr Wb

Ditandai oleh krisis ekonomi berkepanjangan serta berujung pada krisis multidimensional mengantarkan bangsa Indonesia ke titik terendah dalam kehidupan berbangsa . Desakan mahasiswa serta elemen masyarakat lainnya mendesak turunnya penguasa tunggal pada saat itu, Presiden Soeharto. Pada hari kamis 21 Mei 1998, Presiden Soeharto sebagai penguasa rezim Orde Baru ( Orba ) secara resmi mengumumkan pengunduran dirinya. Momentum tersebut menandai berakhirnya masa Orde Baru dan digantikan Orde Reformasi.

IndonesiaTuntutan reformasi yang disuarakan seluruh elemen masyarakat telah membuka kesadaran rakyat tentang keadilan dan kemerdekaan yang dikekang selama 32 tahun oleh Rezim Orba. Harapan besar ada di depan mata seluruh rakyat Indonesia tentang adanya perbaikan atas kondisi Indonesia . Namun harapan tersebut dikhianati oleh kenyataan yang terjadi sekarang. Penyelesaian krisis tidak kunjung selesai, hingga rakyat pun tak lepas dari kekangan penderitaan akibat kemiskinan, pembodohan serta sikap represif dari aparat pemerintah.

Selama 9 tahun pasca turunnya Soeharto, terlihat semakin suramnya kondisi bangsa ini yang dipimpin oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ( SBY ). Amanah reformasi yang diberikan oleh rakyat Indonesia telah diabaikan oleh pemerintahan SBY Tongkat estafet reformasi telah dijalankan setengah hati. Kondisi ini terlihat di multi sektoral, yaitu di bidang politik; kehidupan demokrasi pada saat ini telah meninggalkan subtansi demokrasi yang sebenarnya hal ini menyebabkan demagogi politik bagi rakyat, UU Partai Politik yang ada hanya mendorong kembalinya oligarkhis partai-partai.

Bidang ekonomi, tidak adanya konsep kemandirian ekonomi yang berbasis kerakyatan menyebabkan masih ketergantungan bangsa ini dengan pihak asing. Bidang Pendidikan ; Gagalnya pemerintah menjalankan UUD 1945 yang menyebabkan telah terjadinya komersialisasi pendidikan, sehingga menyebabkan tidak dapat diaksesnya pendidikan oleh seluruh rakyat, Kualitas pendidikan yang tidak berkurikulum berbasis humanis, hanya menyebabkan output pendidikan kita hanya menjadi buruh-buruh globalisasi ( techno structure ).

Bidang Hukum dan HAM, Hal itu terbukti dengan banyaknya produk-produk hukum yang tidak responsif, bahkan lebih berfungsi represif yang mengekang kemerdekaan serta hak-hak demokrasi masyarakat. Misalnya UU anti terorisme, RUU Kerahasiaan Negara, dan lain-lain. Selain itu, hukum telah berlaku diskriminatif terhadap rakyat kecil (kasus Golkar, pelanggaran HAM oleh TNI, kasus BLBI, Kematian Munir, Trisakti, Samanggi I, II dll ).

Bidang Lingkungan Hidup; adanya sebuah krisis ekologi global sebagai akibat dari perilaku eksploitasi dari kapitalisme global ( kasus lumpur Lapindo, Illegal logging ).

Bidang perburuhan, Industrialisasi sebagai ujung tombak kapitalisme global telah menempatkan buruh pada posisi yang banyak dirugikan. Buruh hanya diperlakukan sebagai alat dan di eksploitasi habis-habisan

Oleh karena itu dalam rangka refleksi turunnya penguasa dzalim Orde Baru ( Presiden Soeharto ) kami Himpunan Mahasiswa Islam ( HMI-MPO ) Cabang Purwokerto menuntut kepada pemerintahan SBY sebagai pengemban amanah reformasi untuk ;

1. Bidang Politik : Adanya revisi UU Partai Politik

2. Bidang ekonomi : Membatalkan privatisasi BUMN, Menolak kebijakan pencabutan subsidi bagi kepentingan rakyat.

3. Bidang Pendidikan : Merealisasikan anggaran pendidikan 20 %, Menolak UU BHP, Menuntut kurikulum berbasis humanis.

4. Bidang Hukum&HAM : Melakukan pemberantasan mafia peradilan serta penyelesaian yang serius tentang kasus pelanggaran HAM.

5. Bidang Lingkungan Hidup : Menyelesaikan kasus semburan lumpur Lapindo dan memberikan hak kepada korban.

6. Bidang Perburuhan : Menolak UU PMA sebagai regulasi yang akan merugikan buruh.

Demikianlah tuntutan ini kami buat sebagai bentuk keprihatinan kita semua atas kondisi bangsa saat ini yang tidak berujung kepada perbaikan, seperti yang dicita-citakan pada awal reformasi.

Billahi Taufik Wal Hidayah

Wasalamu ‘alaikum Wr.Wb.

Kabar dari kampus ku...

english mobile


Hari Pendidikan Nasional (HARDIKNAS), yang diperingati setiap tanggal 2 Mei, tahun ini agak sedikit berbeda. Peringatan HARDIKNAS, 2 Mei 2007, di Purwokerto diwarnai dengan bentrokan. Bentrokan terjadi antara mahasiswa yang tergabung dalam Koalisi Mahasiswa Peduli Pendidikan Banyumas (Komppas) dengan aparat keamanan.


Bentrokan ini dipicu atas keinginan mahasiswa untuk mengibarkan bendera setengah tiang yang berada di depan kantor Pemerintahan Daerah Banyumas, sebagai simbol atas keprihatinan anak bangsa melihat kondisi carut marutnya pendidikan di Indonesia.

Dalam aksi tersebut diturunkan pasukan pengamanan yang terdiri dari unsur kepolisian dan satpol PP. Dalam harian Suara Merdeka tanggal 3 Mei 2007, pengamanan terhadap unjuk rasa, yang dilakukan dengan mengerahkan anjing pelacak dan tim penembak.

Unjuk rasa yang tergabungdalam Komppas diikuti oleh sekitar 60 orang. Yang tergabung dalam Komppas antara lain organisasi ekstra kampus HMI, IMM, KAMMI, FMN, PMII.

Demonstrasi mahasiswa ini diawali longmarch dari depan patung Soedirman Kampus Unsoed melewati jalan HR.Bunyamin, kemudian perempatan Kebondalem menuju Alun-Alun Kota. Dalam longmarch mahasiswa sempat melakukan orasi dibeberapa tempat strategis seperti di perempatan Dr.Angka dan komplek kantor RRI Purwkerto.Saat tiba di RRI, koalisi mahasiswa ini menuntut pihak RRI untuk menyiarkan secara langsung aspirasi mahasiswa. Namun tuntutan itu tidak diindahkan oleh pihak RRI.

Setelah melakukan orasi di RRI, kemudian barisan Komppas menuju Alun-Alun Purwokerto, tempat birokrasi pemerintah dan wakil rakyat Banyumas bekerja mengabdikan dirinya. Saat tiba di depan pintu gerbang kantor Pemda Banyumas, mahasiswa disambut dengan barisan pengamanan yang telah disiapkan pemerintah.

Aksi saling dorong antara mahasiswa dan pihak keamanan pun tak terhindarkan. Aksi dorong mendorong terjadi ketika mahasiswa berniat untuk mengibarkan bendera setengah tiang sebagai wujud atas keprihatinan dan berkabungnya masyrakan terhadap kondisi dunia pendidikan. Aksi saling dorong tersebut berbuntut pada tindakan pemukulan yang dilakukan oleh aparat keamanan terhadap beberapa mahasiswa.

Bahkan sempat terdengar ucapan yang menyudutkan mahasiswa dari pihak aparat kepolisian. Bahwa mahasiswa yang tergabung dalam Komppas dituduh sebagai gerakan komunis.

Ternyata aksi demonstrasi Komppas berbuntut panjang. Pasalnya, ada pihak yang tidak senang dengan aksi tersebut.

Menurut beberapa terbitan harian lokal menyebutkan bahwa ada kecaman dan gugatan terhadap demonstrasi mahasiswa dalam memperingati Hari Pendidikan tanggal 2 Mei kemarin. Seperti ditulis dalam Harian Pagi Radar Banyumas tertanggal Jumat 4 mei 2007, “AMNCMP Kecam Demo Mahasiswa”, serta harian Suara Merdeka, hari yang sama, dengan judul “Aliansi Cinta Merah Putih Gugat Mahasiswa”.

Kecaman dan gugatan itu dilontarkan tanggal 3 Mei 2007 oleh Aliansi Masyarakat Banyumas Cinta Merah Putih (AMBCMP) yang disampaikan Hardi SP, salah seorang anggota DPRD II Banyumas.

Dalam pernyataannya, aliansi meminta dengan tegas agar rektorat Unsoed segera meminta maaf secara resmi melalui media elektronik baik lokal, regional, dan nasional. AMBCMP memberi waktu selama 2 x 24 jam berlaku sejak 3 Mei 2007 kepada pihak rektorat Unsoed. (Eko)

 
UNIVERSITARIA ©2008 Templates e Acessorios Por Elke di Barros